Enjoy In Your Live . . . . with smile that beauty . . . (+_+)

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

You need to upgrade your Flash Player to version 10 or newer.

Biarkan Aku Memperingati Maulid Nabi

“Biarkan aku memperingati Maulid.” Demikian kata Sa’id
Ia menambahkan, “Mengapa engkau tidak memperingati Maulid? Apakah engkau tidak mencintai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam? Apakah engkau tidak mengakui keutamaan dan jasa-jasa beliau atas dirimu?”
Demikian sepenggal dialog yang terjadi antara Sa’id dan Shalih. Marilah kita ikuti sejak awalnya.
Shalih sedang berada di atas kereta api dari kotanya menuju ke Ibu Kota untuk melengkapi pengurusan syarat-syarat haji. Tak lama lagi kereta itu akan berangkat. Kegembiraan membayangi wajahnya. Sudah lama ia menyimpan kerinduan untuk berziarah ke tanah suci. Ia bermimpi dan membayangkan melihat ka’bah yang mulia dan berharap dapat mencium hajar aswad serta meminum dari mata air zamzam.
“Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum….” Shalih tersentak dari lamunannya dan sadar bahwa ada seseorang yang sedang menyapanya. Ternyata seorang tua yang berusia menjelang 50 tahun berdiri di sisinya dan minta izin untuk duduk di sampingnya.
“Wa ‘alaikumussalam warahmatullohi wa barokatuh.” jawab Sholih seraya melapangkan tempat duduk untuknya.
“Perkenalkan namaku Sa’id.” kata orang itu.
“Kemana engkau tadi melamun? Tiga kali aku mengucapkan salam kepadamu, tapi engkau tidak mendengarkannya.” kata Sa’id.
Dengan penuh rasa malu, Shalih menjawab, “Maaf, aku tadi berkhayal sedang berada di sisi ka’bah. Aku memang berniat untuk menunaikan haji tahun ini.”
“Masya Alloh engkau niat menunaikan haji? Semoga Alloh memudahkan urusanmu. Dan jangan lupa mendo’akanku di tempat-tempat yang mulia. Memang, setiap muslim pasti merasa rindu untuk berziarah ke tanah suci meskipun ia sudah pernah haji. Alhamdulillah, aku sudah berhaji tiga kali, umrah empat kali dan menziarahi Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dua kali.” kata Sa’’id.
“Tidak, aku memang berniat menziarahi makam Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam di Madinah. Aku masih ingat, ketika itu bulan Rabi’ul Awwal. Perjalananku ke makam penuh dengan nuansa kerinduan yang meluap-luap kepada beliau. Sesampainya di makam, aku membaca maulid Nabi. Sungguh ketika itu aku merasakan bahwa ruh beliau yang suci menyertai kami.” jawab Sa’id.
Shalih berkata, “Akan tetapi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘”Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk berziarah) kecuali pada tiga masjid: Masjid Haram, Masjidku ini dan Masjid Al Aqsha.” ini berarti Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam juga melarang umatnya bepergian jauh untuk tujuan ziarah kecuali ke tiga masjid tersebut. Kemudian, maulid yang tadi engkau sebutkan, hal itu tidak sesuai dengan sunnah.”
Sa’id membantah, “Bid’ah maksudmu?! Menampakkan kecintaan kami kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah?! Bukankah bergembira dengan hari kelahiran beliau termasuk bersyukur kepada Alloh atas nikmat-Nya yang terbesar bagi umat manusia?! Bukankah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam ketika datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuraa’, lalu beliau bersabda, “Hari apa ini sehingga kalian berpuasa kepadanya?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari diselamatkannya Musa dan kaumnya serta ditenggelamkannya Fir’aun dan kaumnya. Lalu Musa berpuasa pada hari ini sebagai syukurnya kepada Alloh, lalu kamipun berpuasa pada hari ini.” Beliau bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.” Maka beliau pun berpuasa dan menyuruh sahabatnya berpuasa. Bukanlah kelahiran Nabi kita ini suatu nikmat yang lebih besar daripada diselamatkannya Musa beserta kaumnya?! Oleh karena itu, perayaan Maulid tersebut sebagai ungkapan syukur atas anugerah Alloh yang sangat besar itu.”

Pembicaraan mereka terputus sejenak karena kereta api akan diberangkatkan dan suara peluit sudah terdengar.
Shalih berkata, “Tentu saja diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah suatu nikmat yang besar dan rahmat bagi alam semesta.”
Sa’id berkata, “Tidak hanya diutusnya beliau, tetapi kelahiran beliau pun juga suatu nikmat. Dan aku bermaksud dengan merayakan maulid tersebut untuk mensyukuri Alloh atas nikmat-Nya yang agung itu. Dan apa yang aku lakukan itu sebenarnya sesuatu yang sangat sederhana dibandingkan dengan jasa-jasa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam yang sangat besar.”
Shalih menjawab, “Tentu saja setiap nikmat wajib disyukuri. Akan tetapi, nikmat yang terbesar untuk umat ini adalah diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan kelahiranya. Karena Al Qur’an tidak pernah menyinggung atau memberikan perhatian terhadap kelahiran beliau. Al Qur’an justru mengisyaratkan berulang kali bahwa nikmat Alloh dan anugerah-Nya yang besar adalah ketika diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Alloh berfirman:
Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri[QS. Ali Imran: 164]
Dan Alloh juga berfirman:
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rosul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunah).” [QS. Al Jumu’ah: 2]
Demikian pula dengan nabi-nabi yang lain, peristiwa terpentingnya adalah ketika diutusnya para nabi tersebut. Seperti firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Alloh mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan” [QS. Al Baqarah: 213]
Seandainya memperingati hari besar tersebut boleh, tentu yang lebih pas adalah merayakan hari diutusnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan hari kelahiran (maulid)-nya. Adapun tentang puasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam pada hari ‘Asyura maka itu adalah syari’at dari Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, beliau hanya menyampaikan dari Robb-nya. Tidak boleh bagi kita untuk mengqiyaskan hari tersebut dengan hari kelahiran beliau. Karena kita hanya mengikuti tidak mendatangkan sesuatu yang baru.”
“Bid’ah dan tidak boleh?! Khurafat apaan ini? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa kegembiraan kita dengan habibina Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah dan tidak boleh?! Biarkan aku merayakan maulid Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam.” tukas Sa’id.
“Aku tidak mengatakan itu. Bahkan mencintai beliau adalah wajib dan harus didahulukan daripada mencintai orang tua, anak dan diri sendiri. Tetapi bukti mencintai beliau adalah dengan mengikutinya bukan dengan mengadakan maulid. Lihatlah para sahabat beliau, bukankah mereka adalah kaum yang lebih baik daripada kita dan lebih mencintai beliau daripada kita?” Tanya Shalih.
“Itu benar, para sahabat dan tabi’in tidak pernah memperingati maulid beliau. Hal ini karena jarak mereka masih dekat dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga mereka tidak butuh merayakannya. Itulah sebabnya.” Tutur Sa’id.
“Wahai saudaraku, jauhnya jarak antara kita dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menjadi alasan bolehnya mengadakan suatu tambahan dalam agama Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ini. Jika selama rentang waktu tiga kurun yang paling utama yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’uttabi’in mereka semua tidak pernah merayakan maulid padahal mereka adalah kaum yang paling mencintai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam lebih daripada generasi-generasi yang datang setelah mereka, maka kenapa kita tidak meniti jalan mereka?” tutur Shalih.
“Aku punya dalil lain. Ibnu Jazri berkata, “Ada seorang yang pernah bermimpi melihat Abu Lahab, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Ia menjawab, ‘Aku di neraka, akan tetapi setiap malam Senin siksaku diringankan karena aku pernah bergembira pada saat kelahiran Rosul lalu aku membebaskan budak wanitaku, Tsuwaibah.’ Lihatlah, jika orang yang kafir saja mendapat manfaat dengan kegembiraannya terhadap kelahiran Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, maka bagaimana dengan seorang Muslim yang bergembira serta merayakan maulid beliau pada setiap tahun?!” tegas Sa’id.
Shalih menjawab, “Wahai saudaraku, dalil tersebut mengandung kelemahan. Pertama, orang yang bermimpi tersebut majhul (tidak diketahui orangnya). Kedua, yang memberi informasi tersebut adalah orang kafir (Abu Lahab). Bagaimana berita seorang kafir dapat dipercaya? Ketiga, sejak kapan sebuah mimpi bisa menjadi dalil untuk menetapkan suatu hukum syari’at?!”
“Wahai saudaraku, apakah engkau tidak menganggap maulid sebagai sunnah hasanah (sunnah yang baik)? Bukankah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu sunnah yang baik, maka baginya pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mencontohkan dalam Islam sunnah yang buruk, maka baginya dosa perbuatan itu dan dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat?” tanya Sa’id.
Shalih menjawab, “Sunnah hasanah (sunnah yang baik) adalah sesuatu yang ada asalnya dalam syari’at. Misalnya sedekah (ia merupakan sebab diriwayatkannya hadits di atas). Diriwayatkan bahwa suatu kaum datang kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dalam keadaan miskin dan sangat kekurangan. Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam menganjurkan para sahabatnya untuk bersedekah kepada mereka. Kemudian datanglah seorang laki-laki dengan membawa sekantong besar uang dirham (perak) yang sampai-sampai tangannya tak mampu lagi membawanya. Lalu orang-orang pada berlomba-lomba bersedekah kepada mereka karena meneladani laki-laki tersebut. Maka ketika itulah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda sebagaimana hadits di atas. Adapun merayakan maulid (hari kelahiran nabi) adalah suatu perbuatan baru yang tidak ada asalnya dalam syari’at. Ia diadakan jauh setelah berlalunya tiga kurun yang utama, yakni sahabat, tabi’in dan tabi’uttabi’in. Oleh karena itu, ia termasuk bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:

“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.”

Sa’id berkata, “Perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, “Setiap bid’ah itu sesat.” tidaklah menunjukkan bahwa setiap bentuk bid’ah itu sesat. Karena kata kullu tidaklah mencakup semuanya. Bahkan diantara ulama ada yang membagi bid’ah itu menjadi dua:
Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan Bid’ah Sayyiah (bid’ah yang buruk). Di antara para ulama ada juga yang mengatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi lima: bid’ah wajib, bid’ah yang mustahabbah (dianjurkan), bid’ah yang mubah (dibolehkan), bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Shalih berkata, “Sesungguhnya hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tadi secara lahirnya menunjukkan bahwa semua bentuk bid’ah dalam agama itu sesat, tanpa terkecuali. Karena lafadz kullu memberi pengertian mencakup semuanya (istighroq). Yakni mencakup semua jenis-jenisnya. Terlebih lagi bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam mendahului ucapan tersebut dengan adaatut tahdzir (bentuk kata yang mengandung makna larangan):
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama).”
Maka apakah mungkin setelah ini semua, beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bermaksud bahwa sebagian bid’ah saja yang sesat?
Adapun perkataan sebagian ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, atau yang membagi bid’ah menjadi lima, maka perkataan mereka itu bertentangan dengan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Lalu apakah kita akan mengambil perkataan mereka dan meninggalkan perkataan Rosululloh? Aku yakin, tidak mungkin ada seorang Muslim yang mendahulukan perkataan manusia –siapapun dia- di atas perkataan al-Musththafa yang ma’shum.” jelas Shalih.
“Saudaraku, coba lihatlah kebun-kebun yang hijau nan indah di luar itu dan marilah kita sudahi diskusi kita.” ujar Sa’id yang berusaha mengalihkan tema pembicaraan.
Shalih tersenyum…. dan kemudian mengeluarkan secarik kertas dari tasnya lalu menulis sesuatu. Ia tampak serius namun santai. Sebelum turun dari kereta api, ia menyerahkan secarik kertas tersebut kepada Sa’id. Sa’id menerimanya dengan senang hati.
Setelah Shalih turun, Sa’id membuka amplop tersebut dan mulai membacanya. Surat itu berbunyi:

Untuk saudaraku yang tercinta, Sa’id.
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Aku sangat berterima kasih dan kagum dengan kebaikan akhlakmu. Perkenankanlah aku menanyakan kepadamu beberapa hal –semoga Alloh melapangkan dadamu untuk menerima kebenaran- :
  1. Kenapa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah merayakan peringatan Maulid sepanjang hidupnya?
  2. Kenapa para sahabat beliau tidak pernah mengadakan peringatan maulid, demikian pula dengan para ulama yang datang setelah mereka? Apakah kita lebih mencintai Nabi daripada mereka?
  3. Jika engkau tidak merayakan maulid, apakah itu berarti kecintaanmu kepada Rosululloh tidak benar?
  4. Apakah engkau yakin bahwa Rosululloh senang jika umatnya menabuh rebana pada hari kelahiran beliau?
  5. Akhirnya engkau tidak tahu bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam wafat pada bulan yang sama dengan bulan kelahirannya? Jika engkau tahu itu, tentu bersedih pada bulan itu lebih tepat daripada bergembira. Akan tetapi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintahkan kita untuk bergembira, tidak juga untuk bersedih. Maka kenapa kita tidak mengikuti beliau?
Akhirnya jika kelak engkau berdiri di hadapan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala pada hari kiamat, lalu Alloh bertanya kepadamu, “Kenapa engkau mengada-adakan peringatan maulid?” Lalu apa jawabmu? Apakah engkau akan menjawab, “Ya Alloh, aku dapati jama’ahku dan juga kaumku, mereka semua merayakan maulid, lalu akupun ikut merayakannya.” Atau apakah engkau menjawab, “Ya Alloh, aku lihat Syaikh Fulan dan Syaikh Fulan melakukannya, lalu akupun ikut melakukannya” Sementara engkau tidak punya dalil atau hujjah?
Padahal Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang 
tidak diizinkan Alloh?” [QS. Asy Syura: 21]
Tetapi sebaliknya, jika engkau tidak merayakan maulid, lalu Alloh menanyaimu pada hari kiamat, “Wahai hamba-Ku, kenapa engkau tidak merayakan maulid Nabi-Ku Muhammad?”
Maka dengan mudah engkau bisa menjawab, “Ya Alloh, Nabi dan Rosul-Mu tidak pernah memerintahkan kami untuk mengadakan peringatan maulid, tidak juga mencontohkannya. Demikian pula dengan sahabat Rosul-Mu, tidak ada satupun diantara mereka yang merayakannya. Maka aku tinggalkan peringatan maulid karena mengikuti Rosul-Mu yang mulia dan para sahabatnya yang setia.”
Saudaraku pikirkanlah! Mana di antara dua jawaban tersebut yang lebih kuat argumennya?
Semoga Alloh mengampunimu. Demi Alloh, aku kasihan kepadamu. Ini adalah nasihatku yang kutulis untukmu. Maka bertakwalah kepada Alloh dan siapkanlah jawaban untuk pertanyaan-Nya.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Sa’id membaca surat sahabatnya tersebut dengan cermat dan hati-hati. Kemudian ia merenungkan kembali isinya dengan kepala dingin. Ia dapati dirinya seolah-olah linglung tak berdaya. Ya, dengan apa ia akan menjawab pertanyaan Robb-nya jika kelak Dia menanyainya tentang perayaan maulid?
Ia telah terbiasa memperingati maulid sejak masa kecilnya. Akan tetapi, tentu saja itu bukan dalil untuk membenarkan perbuatan tersebut. “Akan tetapi,…aku bermaksud menampakkan kecintaanku kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dengan merayakan maulid itu.” gumam Sa’id.
“Namun kenapa Rosululloh Shollallohu ‘Alaih Wa Sallam tidak menganjurkan kita untuk merayakan maulid jika memang beliau suka maulidnya dirayakan? Dan juga, kenapa para sahabat beliau tidak merayakannya setelah beliau meninggal? Bukankah mereka lebih mencintai Rosululloh daripada kita?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut bergelut di benak Sa’id. Mengusik pikirannya dan membuat risau hatinya. Ia merasa seolah-olah bumi disekitarnya berputar. Ia duduk termenung di kursinya. Lama sekali….setelah itu setitik kecerahan mulai muncul pada wajahnya. Dadanya yang tadi terasa sempit kini sedikit lapang.
“Alangkah baiknya seandainya aku tidak melakukan suatu ritual keagamaan pun kecuali jika ada dalilnya yang jelas. Sehingga aku tidak ragu-ragu dalam melakukannya. Dan juga, jika kelak Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menanyaiku pada hari kiamat, maka aku akan dapat menjawabnya dengan mantap.” gumam Sa’id.
(Ditulis oleh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi dalam booklet “Da’nii Ahtafil bil Maulid”)

0 komentar: