Ia menambahkan, “Mengapa engkau
tidak memperingati Maulid? Apakah engkau tidak mencintai Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi Wa Sallam? Apakah engkau tidak mengakui keutamaan dan jasa-jasa beliau
atas dirimu?”
Demikian sepenggal dialog yang
terjadi antara Sa’id dan Shalih. Marilah kita ikuti sejak awalnya.
Shalih sedang berada di atas
kereta api dari kotanya menuju ke Ibu Kota untuk melengkapi pengurusan
syarat-syarat haji. Tak lama lagi kereta itu akan berangkat. Kegembiraan
membayangi wajahnya. Sudah lama ia menyimpan kerinduan untuk berziarah ke tanah
suci. Ia bermimpi dan membayangkan melihat ka’bah yang mulia dan berharap dapat
mencium hajar aswad serta meminum dari mata air zamzam.
“Assalamu’alaikum…
Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum….” Shalih tersentak dari
lamunannya dan sadar bahwa ada seseorang yang sedang menyapanya. Ternyata
seorang tua yang berusia menjelang 50 tahun berdiri di sisinya dan minta izin
untuk duduk di sampingnya.
“Wa ‘alaikumussalam
warahmatullohi wa barokatuh.” jawab Sholih seraya melapangkan tempat duduk
untuknya.
“Perkenalkan namaku Sa’id.” kata
orang itu.
“Kemana engkau tadi melamun? Tiga
kali aku mengucapkan salam kepadamu, tapi engkau tidak mendengarkannya.” kata
Sa’id.
Dengan penuh rasa malu, Shalih
menjawab, “Maaf, aku tadi berkhayal sedang berada di sisi ka’bah. Aku memang
berniat untuk menunaikan haji tahun ini.”
“Masya Alloh engkau niat
menunaikan haji? Semoga Alloh memudahkan urusanmu. Dan jangan lupa mendo’akanku
di tempat-tempat yang mulia. Memang, setiap muslim pasti merasa rindu untuk
berziarah ke tanah suci meskipun ia sudah pernah haji. Alhamdulillah, aku sudah
berhaji tiga kali, umrah empat kali dan menziarahi Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam
dua kali.” kata Sa’’id.
“Tidak, aku memang berniat
menziarahi makam Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam di Madinah. Aku masih
ingat, ketika itu bulan Rabi’ul Awwal. Perjalananku ke makam penuh dengan
nuansa kerinduan yang meluap-luap kepada beliau. Sesampainya di makam, aku
membaca maulid Nabi. Sungguh ketika itu aku merasakan bahwa ruh beliau yang
suci menyertai kami.” jawab Sa’id.
Shalih berkata, “Akan tetapi
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘”Tidak boleh melakukan
perjalanan jauh (untuk berziarah) kecuali pada tiga masjid: Masjid Haram,
Masjidku ini dan Masjid Al Aqsha.” ini berarti Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa
Sallam juga melarang umatnya bepergian jauh untuk tujuan ziarah kecuali ke tiga
masjid tersebut. Kemudian, maulid yang tadi engkau sebutkan, hal itu tidak
sesuai dengan sunnah.”
Sa’id membantah, “Bid’ah
maksudmu?! Menampakkan kecintaan kami kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam
adalah bid’ah?! Bukankah bergembira dengan hari kelahiran beliau termasuk
bersyukur kepada Alloh atas nikmat-Nya yang terbesar bagi umat manusia?!
Bukankah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam ketika datang ke Madinah
beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuraa’, lalu beliau
bersabda, “Hari apa ini sehingga kalian berpuasa kepadanya?” Mereka menjawab,
“Ini adalah hari diselamatkannya Musa dan kaumnya serta ditenggelamkannya
Fir’aun dan kaumnya. Lalu Musa berpuasa pada hari ini sebagai syukurnya kepada
Alloh, lalu kamipun berpuasa pada hari ini.” Beliau bersabda, “Kami lebih berhak
atas Musa daripada kalian.” Maka beliau pun berpuasa dan menyuruh sahabatnya
berpuasa. Bukanlah kelahiran Nabi kita ini suatu nikmat yang lebih besar
daripada diselamatkannya Musa beserta kaumnya?! Oleh karena itu, perayaan
Maulid tersebut sebagai ungkapan syukur atas anugerah Alloh yang sangat besar
itu.”
Pembicaraan mereka terputus
sejenak karena kereta api akan diberangkatkan dan suara peluit sudah terdengar.
Shalih berkata, “Tentu saja
diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah suatu nikmat yang
besar dan rahmat bagi alam semesta.”
Sa’id berkata, “Tidak hanya
diutusnya beliau, tetapi kelahiran beliau pun juga suatu nikmat. Dan aku
bermaksud dengan merayakan maulid tersebut untuk mensyukuri Alloh atas
nikmat-Nya yang agung itu. Dan apa yang aku lakukan itu sebenarnya sesuatu yang
sangat sederhana dibandingkan dengan jasa-jasa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
Wa Sallam yang sangat besar.”
Shalih menjawab, “Tentu saja
setiap nikmat wajib disyukuri. Akan tetapi, nikmat yang terbesar untuk umat ini
adalah diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan kelahiranya.
Karena Al Qur’an tidak pernah menyinggung atau memberikan perhatian terhadap
kelahiran beliau. Al Qur’an justru mengisyaratkan berulang kali bahwa nikmat
Alloh dan anugerah-Nya yang besar adalah ketika diutusnya Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Alloh berfirman:
“Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang rasul
dari golongan mereka sendiri” [QS. Ali Imran: 164]
Dan Alloh juga berfirman:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rosul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunah).”
[QS. Al Jumu’ah: 2]
Demikian pula dengan nabi-nabi
yang lain, peristiwa terpentingnya adalah ketika diutusnya para nabi tersebut.
Seperti firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan), maka Alloh mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan” [QS. Al Baqarah: 213]
Seandainya memperingati hari
besar tersebut boleh, tentu yang lebih pas adalah merayakan hari diutusnya Nabi
Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan hari kelahiran (maulid)-nya. Adapun
tentang puasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam pada hari ‘Asyura
maka itu adalah syari’at dari Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, beliau hanya menyampaikan
dari Robb-nya. Tidak boleh bagi kita untuk mengqiyaskan hari tersebut dengan
hari kelahiran beliau. Karena kita hanya mengikuti tidak mendatangkan sesuatu
yang baru.”
“Bid’ah dan tidak boleh?!
Khurafat apaan ini? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa kegembiraan kita
dengan habibina Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah dan tidak
boleh?! Biarkan aku merayakan maulid Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam.” tukas
Sa’id.
“Aku tidak mengatakan itu. Bahkan
mencintai beliau adalah wajib dan harus didahulukan daripada mencintai orang
tua, anak dan diri sendiri. Tetapi bukti mencintai beliau adalah dengan
mengikutinya bukan dengan mengadakan maulid. Lihatlah para sahabat beliau,
bukankah mereka adalah kaum yang lebih baik daripada kita dan lebih mencintai
beliau daripada kita?” Tanya Shalih.
“Itu benar, para sahabat dan
tabi’in tidak pernah memperingati maulid beliau. Hal ini karena jarak mereka
masih dekat dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga mereka
tidak butuh merayakannya. Itulah sebabnya.” Tutur Sa’id.
“Wahai saudaraku, jauhnya jarak
antara kita dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menjadi
alasan bolehnya mengadakan suatu tambahan dalam agama Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
ini. Jika selama rentang waktu tiga kurun yang paling utama yaitu sahabat,
tabi’in dan tabi’uttabi’in mereka semua tidak pernah merayakan maulid padahal
mereka adalah kaum yang paling mencintai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa
Sallam lebih daripada generasi-generasi yang datang setelah mereka, maka kenapa
kita tidak meniti jalan mereka?” tutur Shalih.
“Aku punya dalil lain. Ibnu Jazri
berkata, “Ada seorang yang pernah bermimpi melihat Abu Lahab, ‘Bagaimana
keadaanmu?’ Ia menjawab, ‘Aku di neraka, akan tetapi setiap malam Senin siksaku
diringankan karena aku pernah bergembira pada saat kelahiran Rosul lalu aku
membebaskan budak wanitaku, Tsuwaibah.’ Lihatlah, jika orang yang kafir saja
mendapat manfaat dengan kegembiraannya terhadap kelahiran Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, maka bagaimana dengan seorang Muslim yang
bergembira serta merayakan maulid beliau pada setiap tahun?!” tegas Sa’id.
Shalih menjawab, “Wahai
saudaraku, dalil tersebut mengandung kelemahan. Pertama, orang yang bermimpi
tersebut majhul (tidak diketahui orangnya). Kedua, yang memberi informasi
tersebut adalah orang kafir (Abu Lahab). Bagaimana berita seorang kafir dapat
dipercaya? Ketiga, sejak kapan sebuah mimpi bisa menjadi dalil untuk menetapkan
suatu hukum syari’at?!”
“Wahai saudaraku, apakah engkau
tidak menganggap maulid sebagai sunnah hasanah (sunnah yang baik)? Bukankah
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang
mencontohkan dalam Islam suatu sunnah yang baik, maka baginya pahala sunnah
tersebut dan pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Dan
barangsiapa mencontohkan dalam Islam sunnah yang buruk, maka baginya dosa
perbuatan itu dan dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat?” tanya
Sa’id.
Shalih menjawab, “Sunnah hasanah
(sunnah yang baik) adalah sesuatu yang ada asalnya dalam syari’at. Misalnya
sedekah (ia merupakan sebab diriwayatkannya hadits di atas). Diriwayatkan bahwa
suatu kaum datang kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dalam keadaan
miskin dan sangat kekurangan. Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam
menganjurkan para sahabatnya untuk bersedekah kepada mereka. Kemudian datanglah
seorang laki-laki dengan membawa sekantong besar uang dirham (perak) yang
sampai-sampai tangannya tak mampu lagi membawanya. Lalu orang-orang pada
berlomba-lomba bersedekah kepada mereka karena meneladani laki-laki tersebut.
Maka ketika itulah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda sebagaimana
hadits di atas. Adapun merayakan maulid (hari kelahiran nabi) adalah suatu
perbuatan baru yang tidak ada asalnya dalam syari’at. Ia diadakan jauh setelah
berlalunya tiga kurun yang utama, yakni sahabat, tabi’in dan tabi’uttabi’in.
Oleh karena itu, ia termasuk bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat sebagaimana
sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam
agama) karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap
bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.”
Sa’id berkata, “Perkataan
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, “Setiap bid’ah itu sesat.” tidaklah
menunjukkan bahwa setiap bentuk bid’ah itu sesat. Karena kata kullu tidaklah
mencakup semuanya. Bahkan diantara ulama ada yang membagi bid’ah itu menjadi
dua:
Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik)
dan Bid’ah Sayyiah (bid’ah yang buruk). Di antara para ulama ada juga yang
mengatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi lima: bid’ah wajib, bid’ah yang
mustahabbah (dianjurkan), bid’ah yang mubah (dibolehkan), bid’ah yang makruh
dan bid’ah yang haram.
Shalih berkata, “Sesungguhnya
hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tadi secara lahirnya
menunjukkan bahwa semua bentuk bid’ah dalam agama itu sesat, tanpa terkecuali.
Karena lafadz kullu memberi pengertian mencakup semuanya (istighroq). Yakni
mencakup semua jenis-jenisnya. Terlebih lagi bahwa Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi Wa Sallam mendahului ucapan tersebut dengan adaatut tahdzir (bentuk
kata yang mengandung makna larangan):
“Jauhilah oleh kalian
perkara-perkara yang baru (dalam agama).”
Maka apakah mungkin setelah ini
semua, beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bermaksud bahwa sebagian bid’ah
saja yang sesat?
Adapun perkataan sebagian ulama
yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, atau yang
membagi bid’ah menjadi lima, maka perkataan mereka itu bertentangan dengan
perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Lalu apakah kita akan
mengambil perkataan mereka dan meninggalkan perkataan Rosululloh? Aku yakin,
tidak mungkin ada seorang Muslim yang mendahulukan perkataan manusia –siapapun
dia- di atas perkataan al-Musththafa yang ma’shum.” jelas Shalih.
“Saudaraku, coba lihatlah
kebun-kebun yang hijau nan indah di luar itu dan marilah kita sudahi diskusi
kita.” ujar Sa’id yang berusaha mengalihkan tema pembicaraan.
Shalih tersenyum…. dan kemudian
mengeluarkan secarik kertas dari tasnya lalu menulis sesuatu. Ia tampak serius namun santai.
Sebelum turun dari kereta api, ia menyerahkan secarik kertas tersebut kepada
Sa’id. Sa’id menerimanya dengan senang hati.
Setelah Shalih turun, Sa’id
membuka amplop tersebut dan mulai membacanya. Surat itu berbunyi:
Untuk saudaraku
yang tercinta, Sa’id.
Assalamu’alaikum
Warohmatullohi Wabarokatuh.
Aku sangat berterima
kasih dan kagum dengan kebaikan akhlakmu. Perkenankanlah aku menanyakan
kepadamu beberapa hal –semoga Alloh melapangkan dadamu untuk menerima
kebenaran- :
- Kenapa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah merayakan peringatan Maulid sepanjang hidupnya?
- Kenapa para sahabat beliau tidak pernah mengadakan peringatan maulid, demikian pula dengan para ulama yang datang setelah mereka? Apakah kita lebih mencintai Nabi daripada mereka?
- Jika engkau tidak merayakan maulid, apakah itu berarti kecintaanmu kepada Rosululloh tidak benar?
- Apakah engkau yakin bahwa Rosululloh senang jika umatnya menabuh rebana pada hari kelahiran beliau?
- Akhirnya engkau tidak tahu bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam wafat pada bulan yang sama dengan bulan kelahirannya? Jika engkau tahu itu, tentu bersedih pada bulan itu lebih tepat daripada bergembira. Akan tetapi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintahkan kita untuk bergembira, tidak juga untuk bersedih. Maka kenapa kita tidak mengikuti beliau?
Akhirnya jika kelak engkau berdiri di
hadapan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala pada hari kiamat, lalu Alloh bertanya
kepadamu, “Kenapa engkau mengada-adakan peringatan maulid?” Lalu apa jawabmu?
Apakah engkau akan menjawab, “Ya Alloh, aku dapati jama’ahku dan juga kaumku,
mereka semua merayakan maulid, lalu akupun ikut merayakannya.” Atau apakah
engkau menjawab, “Ya Alloh, aku lihat Syaikh Fulan dan Syaikh Fulan
melakukannya, lalu akupun ikut melakukannya” Sementara engkau tidak punya dalil
atau hujjah?
Padahal Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Apakah
mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang
tidak diizinkan Alloh?” [QS. Asy Syura: 21]
Tetapi sebaliknya, jika engkau tidak
merayakan maulid, lalu Alloh menanyaimu pada hari kiamat, “Wahai hamba-Ku,
kenapa engkau tidak merayakan maulid Nabi-Ku Muhammad?”
Maka dengan mudah engkau bisa menjawab,
“Ya Alloh, Nabi dan Rosul-Mu tidak pernah memerintahkan kami untuk mengadakan
peringatan maulid, tidak juga mencontohkannya. Demikian pula dengan sahabat Rosul-Mu,
tidak ada satupun diantara mereka yang merayakannya. Maka aku tinggalkan
peringatan maulid karena mengikuti Rosul-Mu yang mulia dan para sahabatnya yang
setia.”
Saudaraku pikirkanlah!
Mana di antara dua jawaban tersebut yang lebih kuat argumennya?
Semoga Alloh
mengampunimu. Demi Alloh, aku kasihan kepadamu. Ini adalah nasihatku yang
kutulis untukmu. Maka bertakwalah kepada Alloh dan siapkanlah jawaban untuk
pertanyaan-Nya.
Wassalamu’alaikum
Warohmatullohi Wabarokatuh.
Sa’id membaca surat sahabatnya
tersebut dengan cermat dan hati-hati. Kemudian ia merenungkan kembali isinya
dengan kepala dingin. Ia dapati dirinya seolah-olah linglung tak berdaya. Ya,
dengan apa ia akan menjawab pertanyaan Robb-nya jika kelak Dia menanyainya
tentang perayaan maulid?
Ia telah terbiasa memperingati
maulid sejak masa kecilnya. Akan tetapi, tentu saja itu bukan dalil untuk
membenarkan perbuatan tersebut. “Akan tetapi,…aku bermaksud menampakkan
kecintaanku kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dengan merayakan
maulid itu.” gumam Sa’id.
“Namun kenapa Rosululloh Shollallohu ‘Alaih Wa Sallam tidak
menganjurkan kita untuk merayakan maulid jika memang beliau suka maulidnya
dirayakan? Dan juga, kenapa para sahabat beliau tidak merayakannya setelah
beliau meninggal? Bukankah mereka lebih mencintai Rosululloh daripada kita?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bergelut di benak Sa’id. Mengusik pikirannya dan
membuat risau hatinya. Ia merasa seolah-olah bumi disekitarnya berputar. Ia
duduk termenung di kursinya. Lama sekali….setelah itu setitik kecerahan mulai
muncul pada wajahnya. Dadanya yang tadi terasa sempit kini sedikit lapang.
“Alangkah baiknya seandainya aku tidak melakukan suatu
ritual keagamaan pun kecuali jika ada dalilnya yang jelas. Sehingga aku tidak
ragu-ragu dalam melakukannya. Dan juga, jika kelak Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
menanyaiku pada hari kiamat, maka aku akan dapat menjawabnya dengan mantap.”
gumam Sa’id.
(Ditulis oleh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi dalam booklet
“Da’nii Ahtafil bil Maulid”)
0 komentar:
Posting Komentar