Enjoy In Your Live . . . . with smile that beauty . . . (+_+)

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

You need to upgrade your Flash Player to version 10 or newer.

Pacaran = Zina

Ilustrasi
Saat ini bukan hal aneh lagi jika kita melihat sepasang remaja bergandengan tangan,
bermesra-mesraan, bahkan berciuman di tempat umum. Pacaran, itulah sebutannya.
Tidak memandang usia, baik mahasiswa, SMA, SMP, bahkan anak SD pun sudah ada
yang mengarah kesana. Seakan-akan hal ini sudah menjadi budaya bangsa kita
ini.Alasannya pun bermacam-macam, mulai dari perkenalan sebelum menuju ke jenjang
rumah tangga hingga ada pula yang hanya untuk bersenang-senang.
Lalu, bagaimanakah pandangan Islam sebenarnya tentang hal ini? Dan bagaimana
“pacaran” yang islami?
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. Sabdanya : “Nasib anak Adam mengenai zina
telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua mata, zinanya
memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan zinanya
memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan rindu, sedangkan faraj
(kemaluan) hanya mengikuti dan tidak mengikuti.” (Hadis Shahih Muslim No. 2282)
Jika kita melihat dari Hadis Shahih Muslim tersebut, sudah jelas-jelas bahwa Pacaran itu
termasuk Zina.
Zina Mata = Memandang
Zina Telinga = Mendengar
Zina Lidah = Berkata
Zina Tangan = Memegang
Zina Kaki = Melangkah
Zina Hati = Ingin dan Rindu
.
Memang ini semua masuk dalam kategori Zina kecil. Tapi ini semua menjadi pintu untuk
melakukan Zina besar (ML/Making Love), seperti dijelaskan pada akhir hadis yang
berbunyi “…sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti dan tidak mengikuti.”
Kenapa? Karena tidaklah mungkin orang akan berzina besar, jika zina kecil ini tidak
dilakukan terlebih dahulu. Dan bisa kita saksikan sendiri, sudah banyak poling yang
menyatakan bahwa lebih dari 50% remaja yang yang pacaran sudah pernah melakukan
ML. Jadi meskipun zina kecil, hal ini juga tetap haram hukumnya.
Hukum Zina
Al-Imam Ahmad berkata: “Aku tidak mengetahui sebuah dosa -setelah dosa
membunuh jiwa- yang lebih besar dari dosa zina.”
Dan Allah menegaskan pengharamannya dalam firmanNya:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali? dengan (alasan) yang? benar, dan
tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari
Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina kecuali orang-orang
yang bertaubat …” (Al-Furqan: 68-70).
Dalam ayat tersebut, Allah menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan
vonis hukumannya adalah kekal dalam adzab berat yang berlipat ganda, selama
pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal
shalih.
Solusi
Sebagian dari kita, mungkin obat dari rindu adalah memandang foto, namun justru inilah
yang akan menambah rasa rindu itu . Ada syair yang mengatakan : ? Dan kau mengira
bahwa itu dapat mengobati luka (syahwat)mu, padahal, dengan itu berarti kau menoreh
luka di atas luka.
Jadi, mengingat bahayanya, sebaiknya jika kita selalu menundukkan pandangan pada
lawan jenis yang bukan mahram.
Dan di dalam Musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah:
“Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barangsiapa yang
memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka
Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari? Kiamat.”
Nabi pernah ditanya tentang hal yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam
Neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan”. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini
hasan shahih.”
Serta dalam Al-Quran dijelaskan:
“Dan hamba-hamba Ar-Rahman, yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan katakata
(yang mengandung) keselamatan.” (Al-Furqan: 63).
Jadi kunci pertamanya adalah menjaga pandangan, menjaga lisan, menjaga langkah, serta
menjaga pikiran. Namun, jika anda tidak berhasil, maka solusi satu-satunya adalah
menikah.
Pacaran, sebagian menganggap ini adalah hal wajar untuk mengenal lebih dekat sebelum
melangsungkan pernikahan. Pacaran bukanlah jaminan langgengnya suatu hubungan
berumah tangga. Contoh nyatanya bisa anda lihat pada pasangan-pasangan selebriti kita.
Banyak sekali dari mereka yang cerai, walaupun sebelum menikah mereka berpacaran
dahulu dalam waktu yang cukup lama. Maka, solusi yang benar adalah ta´aruf.
Ta´aruf, mengenal dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip islami. Biasanya
dilakukan di rumah pihak wanita, dengan menggunakan hijab (penghalang yang tidak
memungkinkan kita untuk bertatapan secara langsung), dan dengan didampingi oleh
muhrim pihak wanita. Kaku? Memang, tapi inilah cara yang sebenarnya. Tetapi dengan
kemajuan teknologi, mungkin hal ini bisa dilakukan melalui telephone, email, atau
mungkin chating. Tentunya dengan tetap mengedepankan norma-norma Islam.
Semoga kita terhindar dari hal-hal yang diharamkan Allah. Amin

ALIF ( أ )
1. Aban : ناَبَأ : perbuatan yang sangat jelas, nama putra khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
2. Abiy : ّيِبَأ : yang memiliki kepribadian yang kuat yang pantang tunduk terhadap tekanan
3. Abyan : نَيْبَأ : yang lebih jelas
4. Adib : بْيِدَأ : sastrawan
5. Ahmad : دَمْحَأ : yang banyak dipuji-puji, nama yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dalam al-Qur’an
6. Arib : بْيِرَأ : yang cerdik dan berakal
7. Arhab : بَحْرَأ : yang lapang dada
8. Asad : دَسَأ : singa (lambang keperkasaan)
9. Asmar : رَمْسَأ : yang berkulilt coklat, abu-abu
10. As’ad : دَعْسَأ : yang lebih bahagia
11. Asyqar : رَقْشَأ : yang berambut pirang
12. Asyhab : بَهْشَأ : warna putih yang bercampur hitam, sebutan lain bagi singa.
13. Ashil : لْيِصَأ : yang asli
14. Anis : سْيِنَأ : yang dapat menenangkan hati dari kerisauan/keterasingan
15. Akram : مَرْآَأ : yang lebih mulia
16. Aman : ناَمَأ : rasa aman
17. Amin : نْيِمَأ : yang dapat dipercaya
18. Amir : رْيِمَأ : Emir, pemimpin, yang memerintahkan
19. Anwar : َوْنَأر : yang lebih bercahaya
20. Arkan : ناَآْرَأ : pondasi, pokok
21. Awwab : باَّوَأ : yang amat taat kepada Tuhan, julukan bagi nabi Daud 'alaihissalam
22. Ayib : بِيآ : yang kembali
23. Ayyub : بْوُّيَأ : yang banyak kembali, nama nabi
24. Islam : َلْسِإما : keislaman
25. I’tisham : ماَصِتْعِا : berpegang teguh
26. Iklil : لْيِلْآِإ : mahkota
27. Imam : ماَمِإ : pemimpin
28. Iyhab : باَهْيِإ : pemberian
29. Usamah :ةَماَسُأ : singa, nama seorang shahabat yang amat dicintai oleh Rasulullah.

BA’ (بلاءا)
1. Bady : يِداَب : yang terlihat secara jelas
2. Badzil : لِذاَب : yang berusaha dengan sekuat tenaga
3. Bahi : يِهاَب : yang cerdik dan baik, yang berbangga
4. Bari’ : عِراَب : yang menonjol dalam setiap pekerjaan
5. Basim : مِساَب : yang tersenyum
6. Basil : لِساَب : yang sangat berani
7. Baqir : رِقاَب : yang memiliki kedalaman ilmu
8. Badr : رْدَب : bulan purnama
9. Badri :يِرْدَب : julukan bagi shahabat yang mengikuti perang badar, dinisbatkan kepada bulan purnama
10. Barraq : قاَّرَب : yang berkilauan, cemerlang
11. Barakat : تاَآَرَب : keberkahan yang banyak
12. Basyir : رْيِشَب : yang memberikan kabar gembira
13. Basysyar : راَّشَب : yang banyak memberikan kabar gembira
14. Bahri : يِرْحَب : yang dinisbatkan kepada laut
15. Bahij :جْيهِبَ : yang ceria, elok
16. Bashri : يِرْصَب : yang dinisbatkan kepada kota Bashrah
17. Bilal : لاَلِب : air atau susu yang dapat membasahi tenggorokan, nama muazzin Rasulullah
18. Burhan : ناَهْرُب : bukti, argumentasi

TA’ (ءاتلا)
1. Taib : بِئاَت : yang bertaubat
2. Taiq : قِئاَت : yang merindu
3. Tajir : رِجاَت : saudagar, pedagang
4. Tamimi :يِمْيمِتَ : dinisbatkan kepada Tamim, nama sebuah kabilah Yaman
5. Taqy : يِقَت : Ahli taqwa
6. Taufiq : قْيِفْوَت : taufiq, petunjuk, kesesuaian
7. Tahsin : نْيِسْحَت : perbaikan, memperindah
8. Tibyan : ناَيْبِت : penjelasan, keterangan

TSA’ (ءاثلا)
1. Tsabit : تِباَث : yang kokoh, tegar, kuat
2. Tsamin :نْيمِثَ : yang berharga
3. Tsaqib : بِقاَث : yang memiliki otak yang cerdas, tajam
4. Tsariy : يِرَث : hartawan

JIIM (ميجلا)
1. Jabir : رِباَج : yang menggantikan apa yang hilang, nama seorang shahabat Nabi yang terkenal (Jabir bin ‘Abdullah)
2. Jasir : رِساَج : pemberani
3. Jasim : مِساَج : yang tinggi, besar
4. Jarir : رْيِرَج : Tali pengikat onta, nama salah seorang shahabat
5. Jamil :لْيمِجَ : indah, gagah
6. Jauhar : رَهْوَج : permata berlian
7. Jahuri : يِرْوُهَج : yang memiliki suara yang jelas dan besar
8. Jihad : داَهِج : Jihad, perang suci
9. Jubran : ناَرْبُج : sama dengan arti kata Jabir diatas (derivasi darinya)
10. Jubair : رْيَبُج : sama dengan arti kata Jabir (diminutif/tashghir darinya)

HA’ (ءاحلا)
1. Habib : بْيَبُح : orang yang dikasihi
2. Hatim : مِتاَح : orang yang diserahi perkara, orang yang dijadikan sebagai simbol kedermawanan oleh bangsa Arab
3. Harits : ثِراَح : yang membajak tanah, salah satu nama yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
4. Hazim : مِزاَح : yang berkemauan keras dan bersikap tegas
5. Hasyid : دِشاَح : yang mengumpulkan, menghimpun orang
6. Hafizh : ظِفاَح : yang memelihara, menjaga, yang menghafal
7. Hamid : دِماَح : yang memuji, bertahmid
8. Hajjaj : جاَّجَح : yang banyak melaksanakan haji, yang punya argumentasi
9. Hasan : نَسَح : yang baik, bagus, indah, nama cucu nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
10. Hassan : ناَّسَح : yang banyak baiknya, keindahannya
11. Hakam : مَكَح : hakim, pemutus hukum, wasit
12. Halif : فْيِلَح : rekanan, sekutu, kongsi
13. Hammad : داَّمَح : yang banyak memuji
14. Hamdan : ناَدْمَح : yang banyak memuji
15. Hanbaly : يِلَبْنَح : pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal
16. Hanif : فْيِنَح : yang berpegang teguh pada Islam, yang lurus
17. Hashshad : داَّصَح : yang banyak mendapatkan (sesuatu)
18. Hayyan : ناَّيَح : hidup
19. Haidar : رَدْيَح : Pemberani
20. Hibban : ناَّبِح : yang banyak dikasihi
21. Hilmi : يِمْلِح : dinisbatkan kepada kata hilm, yaitu lembah lembut, tenang dalam bertindak
22. Himyar : رَيْمِح : nama suku di Yaman
23. Husam : ماَسُح : pedang yang tajam
24. Husain : نْيَسُح : yang bagus, indah (diminutif dari kata husn)

KHA’ (ءاخلا)
1. Khazin : نِزاَخ : yang menyimpan
2. Khasyi’ : عِشاَخ : yang khusyu’
3. Khathir : رِطاَخ : hati, pikiran yang terbersit
4. Khalid : دِلاَخ : kekal, abadi, nama salah seorang shahabat tersohor dan ahli perang (Khalid bin walid)
5. Khalish : صِلاَخ : yang murni, ikhlas
6. Khajil : لْيِجَخ : pemalu
7. Khashib : بْيِصَخ : subur
8. Khadhir : رِضَخ : yang hijau
9. Khathib : بْيِطَخ : penceramah, yang berbicara
10. Khaththab : باَّطَخ : yang banyak berceramah, pintar bicara
11. Khalaf : فَلَخ : pengganti, yang datang kemudian, keturunan
12. Khaldun : نْوُدْلَخ : kekal, abadi
13. Khalifah : ةَفْيِلَخ : penguasa dalam negara Islam, pengganti, pemimpin
14. Khalil : لْيِلَخ : teman akrab yang dekat dan dikasihi
15. Khair : ْيٍَخر : yang baik
16. Khuzaimah : ةَمْيَزُخ : pohon yang bunganya sangat sedap (diminutif dari kata khuzam)

Daal (لادلا)
1. Daris : سِراَد : pelajar
2. Daud : دُواَد : nama Nabi
3. Daly : يِلاَد : buah anggur yang tidak terlalu hitam
4. Dany : يِناَد : yang dekat
5. Daffa’ : عاَّفَد : yang (banyak) mempertahankan diri
6. Dafi’ : عِفاَد : yang mempertahankan, mendorong, motivasi
7. Dalil : لْيِلَد : penunjuk jalan, guide, panduan, sapaan

DZAL (لاذلا)
1. Zakir : رِآاَذ : yang berzikir, yang ingat
2. Zakir : رْيِآَذ : yang baik daya ingatnya
3. Zakwan : ناَوْآَذ : yang sangat cerdas
4. Zaky : ّيِآَذ : yang cerdas
5. Zulfiqar : راَقِفْلا وُذ : nama pedang ‘Ali bin Abi Thalib
6. Zulfahmi : مْهَفلْا وُذ : yang memiliki pemahaman

RA’ (ءارلا)
1. Ra’id : َردِئا : pemimpin, pencetus
2. Ra’if : فِئاَر : yang memiliki rasa kasihan
3. Rajih : حِجاَر : yang kuat, tajam akalnya
4. Raji : يِجاَر : orang yang berharap
5. Rasikh : خِساَر : yang kokoh, dalam ilmunya
6. Rasyid : دِشاَر : yang memberi petunjuk/nasehat, sudah berusia baligh
7. Raghib : بِغاَر : yang memiliki keinginan
8. Raki’ : عِآاَر : yang ruku’/menundukkan kepala, yang shalat
9. Ramiz : زِماَر : yang memberi isyarat atau kode, menandai
10. Ramy : يِماَر : yang melempar, pemanah
11. Rabi’ : عْيِبَر : musim semi
12. Rajab : بَجَر : bulan rajab, pengagungan
13. Rahhab : باَّحَر : yang sangat menyambut, antusias, yang (banyak) berlapang dada
14. Razin : نْيِزَر : yang cemerlang (otaknya), penuh kesungguhan
15. Rassam : ماَّسَر : yang menggambar
16. Rasyad : داَشَر : lurus, yang mendapat petunjuk
17. Rasyid : دْيِشَر : yang mendapat petunjuk
18. Rasyiq : قْيِشَر : perawakan tubuhnya bagus, tangkas
19. Ramzi : يِزْمَر : dinisbatkan kepada simbol, simbolik
20. Ramadhan : ناَضَمَر : bulan ramadhan, panas yang sangat
21. Rafi’ : عْيِفَر : yang tinggi
22. Raihan : ناَحْيَر : aroma, buah yang baunya wangi
23. Rizq : قْزِر : anugerah, rizki
24. Ridhwan : ناَوْضِر : kerelaan, keridhaan
25. Rifqy : يِقْفِر : dinisbatkan kepada kelemahlembutan, rasa belaskasih
26. Riyadh : ضاَيِر : taman
27. Ridha : اَضِر : kerelaan
28. Rusyd : دْشُر : petunjuk
29. Rusydi : يِدْشُر : yang bersifat petunjuk

ZAI (يازلا)
1. Zari’ : عِراَز : yang menanam
2. Zahid : دِهاَز : yang bersahaja, zuhud
3. Zahir : رِهاَز : yang cemerlang, berseri-seri
4. Zahy : يِهاَز : wajah yang elok
5. Zayyat : تاَّيَز : dinisbatkan kepada kata zait (minyak): tukang minyak
6. Zaky : ّيِآَز : Yang bersih, suci
7. Zaid : دْيَز : yang bertambah
8. Zahrani : يِناَرْهَز : yang berseri-seri
9. Ziyad : داَيِز : yang bertambah

SIN (نيسلا)
1. Sais : سِئاَس : yang menyiasati
2. Sabiq : قِباَس : yang terdahulu
3. Satir : رِتَاس : yang menutupi sesuatu
4. Sajid : دِجاَس : yang bersujud
5. Sakhin : نِخاَس : yang panas
6. Sa’i : يِعاَس : yang berusaha, berjalan cepat
7. Saqy : يِقاَس : yang menuangkan (air)
8. Salim : مِلاَس : yang selamat, sehat dan segar bugar
9. Samih : حِماَس : yang pema’af, yang mulia hatinya
10. Sami : يِماَس : yang mulia, tinggi
11. Sahir : رِهاَس : yang berjaga di tengah malam, tidak tidur
12. Sabbah : حاَّبَس : perenang
13. Sakhiy : ّيِخَس : yang dermawan, murahhati
14. Sa’ad : دْعَس : kebahagiaan
15. Sa’id : دْيِعَس : yang bahagia
16. Sa’dun : نْوُدْعَس : yang bahagia
17. Safar : رَفَس : perjalanan
18. Salman : ناَمْلَس : yang selamat
19. Sahal : لْهَس : yang mudah
20. Sayyaf : فاَّيَس : yang memegang pedang, ahli pedang
21. Sayyid : دِّيَس : pemuka, pemimpin
22. Sidr : رْدِس : daun bidara
23. Siraj : جاَرِس : lentera, lampu
24. Sudais : سْيَدُس : diminutif dari kata as-sudus ; seper-enam
25. Surur : رْوُرُس : kegembiraan
26. Su’ud : دْوُعُس : kebahagiaan, nama raja Kerajaan Arab Saudi
27. Sulthan : ناَطْلُس : yang memiliki kekuasaan, sultan
28. Suhail : لْيَهُس : diminutif dari kata sahl : mudah

SYIN (نيشلا)
1. Syabb : ّباَش : pemuda
2. Syady : يِداَش : yang merangkai sya’ir
3. Syarih : حِراَش : yang menjelaskan, menerangkan, mensyarah, yang lapangdada
4. Syathir : رِطَاش : genius
5. Syathibi : ّيِبِطاَش : nama ulama terkemuka
6. Sya’ir : رِعاَش : penyair
7. Syafi’ : عِفاَش : yang memberi pertolongan
8. Syafi’i : ّيِعِفاَش : dinisbatkan kepada Imam asy-Syafi’i
9. Syakir : رِآاَش : yang bersyukur
10. Syamil : لِماَش : komplit, universal, yang mencakup
11. Syamikh : خِماَش : yang tinggi, kokoh
12. Syahy : يِهاَش : yang memiliki keinginan
13. Syaj’an : ناَعْجَش : yang sangat pemberani
14. Syaddad : داَّدَش : yang kuat, keras
15. Syarif : فْيِرَش : yang mulia, terhormat
16. Syarik : كْيِرَش : kongsi, sekutu
17. Sya’rani : يِناَرْعَش : dinisbatkan kepada kata sya’r ; rambut
18. Syaghghaf : َشفاَّغ : yang memiliki keinginan yang amat sangat, tergila-gila, mabuk kepayang
19. Syafiq : قْيِفَش : yang halus perasaannya, penuh belas kasih
20. Syaqiq : قْيِقََش : sekandung, terbelah
21. Syakib : بْيِكَش : yang memberi balasan kebaikan
22. Syakkar : راَّكَش : yang banyak bersyukur, terimakasih
23. Syakur : رْوُكَش : yang banyak bersyukur, terimakasih
24. Syammakh : خاََّمش : yang amat tinggi, kokoh
25. Syairazy : يِزاَرْيَش : dinisbatkan kepada kata syairaz ; nama kota di Persia/Iran sekarang, nama ulama terkenal
26. Syihab : باَهِش : bintang meteor, cahaya api
27. Syu’aib : بْيَعُش : nama nabi, diminutif dari kata sya’b ;bangsa, suku
28. Syuja’ : عاَجُش : pemberani
29. Syuraih : حْيَرُش : diminutif dari kata syarh ; penjelasan, lapang dada, lega
30. Syurahbil : لْيِبْحَرُش : nama seorang shahabat

Shad (داصلا)
1. Sha-ib : بِئاَص : yang bertindak benar
2. Sha-id : دِئاَص : yang berburu
3. Sha-in : نِئاَص : yang menjaga
4. Sha’im : مِئاَص : yang berpuasa
5. Shabir : رِباَص : penyabar
6. Shahib : اَصبِح : teman, shahabat, yang menyertai
7. Shahy : يِحاَص : yang berteriak, bangun
8. Shadir : رِداَص : yang mengeluarkan, menerbitkan, bersumber
9. Shadiq : قِداَص : yang jujur
10. Sharif : فِراَص : yang mengalihkan (perhatian, dst), yang merubah
11. Sharim : مِراَص : yang tegas, tajam
12. Sha’id : دِعاَص : yang memanjat, menaiki
13. Shafih : حِفاَص : pemaaf
14. Shafy : ىِفاَص : yang suci, murni, bersih, tidak keruh
15. Shalih : حِلَاص : orang yang shalih, sesuai
16. Shamit : تِماَص : yang diam tidak banyak bicara
17. Shamid : دِماَص : yang tegar
18. Shabbah : حاَّبَص : yang mengucapkan selamat pagi
19. Shahafy : ّيِفَحَص : wartawan
20. Shakhar : رْخَص : batu yang keras, karang
21. Shaddam : ماَّدَص : yang membenturkan
22. Sharraf : فاَّرَص : kasir
23. Shafar : رَفَص : bulan shafar
24. Shafwat : تَوْفَص : jernih, bersih, bening
25. Shafwan : ناَوْفَص : jernih, bersih, nama seorang shahabat, batu besar yang halus/licin
26. Shafih : حْيِفَص : pedang yang tajam, lempengan
27. Shafir : رْيِفَص : terompet, siulan
28. Shafrawy : يِواَرْفَص : dinisbatkan kepada kata “shufr”; kuning, kekuning-kuningan
29. Shaqr : رْقَص : burung elang
30. Shaql : لْقَص : tajam
31. Shalah : حاَلَص : keshalihan, kecocokan
32. shahl : لْهَص : suara kuda
33. Shawwan : ناَّوَص : yang menjaga (diri, dsb)
34. Shayyad : داَّيَص : ahli berburu
35. Shaidaly : ّىِلَدْيَص : apoteker
36. Shiddiq : قْيِّدِص : yang amat jujur
37. Shirath : طاَرِص : jalan
38. Shulhi : ّيِحْلُص : dinisbatkan kepada kata shulh ; perdamaian
39. Shuwailih : حِلْيَوُص : diminutif dari kata shalih
40. Shuhaib : بْيَهُص : julukan bagi singa, nama seorang shahabat terkenal Shuhaib ar-Ruumy

DHAD (داضلا)
1. Dhabith : طِباَض : kapten, yang mencocokkan, yang kuat hafalannya
2. Dhahik : كِحاَض : yang tertawa
3. Dhamin : ِماَضن : yang menjamin, menanggung
4. Dhawy : يِواَض : bercahaya
5. Dhahhak : كاَّحَض : yang banyak tertawa
6. Dhamir : رْيِمَض : perasaan
7. Dhaif : فْيَض : tamu
8. Dhiman : ناَمِض : jaminan
9. Dhubaib : بْيَبٌض : diminutif dari kata dhabb ; sejenis biawak
10. Dhuha : ىَحٌض : waktu dhuha, sebelum matahari tergelincir

THA’ (ءاطلا)
1. Thaif : فِئَاط : yang berkeliling/melakukan thawaf, nama kota di Arab Saudi
2. Thahin : نِحاَط : yang menumbuk
3. Tharih : حِراَط : yang melemparkan (pendapat, dsb), yang membuang
4. Tharid : دِراَط : yang mengusir
5. Thariq : قِراَط : yang datang waktu malam, yang mengetuk, nama seorang pahlawan Islam terkenal (Thariq bin Ziyad)
6. Thazij : جِزاَط : yang segar (makanan, dsb), steril
7. Thaqim : مِقاَط : pilot
8. Thalib : بِلاَط : yang menuntut, mencari, mahasiswa
9. Thamih : حِماَط : yang antusias
11. Thahir : رِهاَط : yang suci, bersih
12. Thabari : يِرَبَط : nama seorang Mufassir terkenal (Imam ath-Thabari)
13. Thabrani : يِناَرْبَط : nama seorang Muhaddits (ahli hadits) terkenal (Imam ath-Thabrani)
14. Thahhan : نَاّحَط : orang yang menumbuk (sesuatu)
15. Thalal : لاَلَط : tempat yang tinggi
16. Thayyar : راَّيَط : penerbang, pilot
17. Thayyib : بِّيَط : yang baik, enak, suci
18. Thiraz : زاَرِط : ukuran, model, tipe
19. Thufail : لْيَفُط : diminutif dari kata thifl ; anak kecil

ZHA’ (ءاظلا)
1. Zha’in : نِعاَظ : yang bepergian pada siang hari yang terik
2. Zhafir : رِفاَظ : yang menang, beruntung
3. Zhahir : رِهاَظ : bagian luar, lahiriah, terang, nampak
4. Zharif : فْيِرَظ : cerdik, terang
5. Zhafran : ناَرْفَظ : yang menang, beruntung
6. Zhahran : ناَرْهَظ : bagian belakang, nama kota di Arab Saudi

‘AIN (نيعلا)
1. ‘Aif : فِئاَع : yang menjaga kesucian dirinya, penjijik
2. ‘Aisy : شِئاَع : yang hidup
3. ‘Abid : دِباَع : ahli ‘ibadah
4. ‘Abir : رِباَع : yang melewati, musafir
5. ‘Aji : يِجاَع : dinisbatkan kepada kata ‘aajj ; gading, berkebangsaan negara Pantai Gading
6. ‘Adil : لِداَع : yang adil
7. ‘Arif : فِراَع : yang mengetahui, mengenal
8. ‘Azil : لِزاَع : yang mengasingkan diri, tidak mempersenjatai diri
9. ‘Asyur : رْوُشاَع : ke-sepuluh
10. ‘Athif : فِطاَع : yang lembut, penuh kasih
11. ‘Aqil : لِقاَع : yang berakal, cerdas
12. ‘Alim : مِلاَع : yang berpengetahuan, seorang ‘alim
13. ‘Ammiy : ّيِّماَع : yang ‘awam, biasa
14. ‘Ayid : دِياَع : yang kembali
15. ‘Abbad : داَّبَع : ahli/yang banyak beribadah
16. ‘Abud : دْوُبَع : ahli ibadah
17. ‘Abqary : ّيِرَقْبَع : yang jenius
18. ‘Atid : دْيِتَع : yang selalu hadir
19. ‘Atiq : قْيِتَع : hamba yang dimerdekakan, yang sudah tua, sebutan buat Ka’bah (al-Baitul ‘Atiq)
20. ‘Ajam : مَجَع : orang asing, selain ‘Arab
21. ‘Adnan : نَانْدَع : salah seorang nenek moyang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
22. ‘Arafat : تاَفَرَع : jamak dari ‘arafah ; nama bukit di Mekkah tempat melakukan haji
23. ‘Azzam : ماَّزَع : yang berkemauan kuat (bertekad bulat)
24. ‘Atha’ : ءاَطَع : pemberian
25. ‘Aththar : راَّطَع : yang suka memakai wewangian, tukang minyak wangi
26. ‘Aththas : ساَّطَع : yang bersin, nama suku di Yaman
27. ‘Affan : َّفَعنا : yang banyak menjaga kesucian dirinya, nama ayah khalifah ketiga, ‘Utsman bin ‘Affan
28. ‘Afif : فْيِفَع : yang menjaga kesucian dirinya
29. ‘Aqid : دِقاَع : yang beraqad, berjanji
30. ‘Aqqad : داَّقَع : yang banyak beraqad, berjanji
31. ‘Ali : ّيِلَع : yang tinggi, nama khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib
32. ‘Alqamah : ةَمَقْلَع : nama seorang shahabat
33. ‘Allaf : فاَّلَع : yang memberi makanan binatang
34. ‘Ammar : راَّمَع : yang banyak menta’mir, yang panjang umur, nama seorang shahabat ‘Ammar bin Yasir
35. ‘Amru : وُرْمَع : nama seorang shahabat ‘Amru bin al-‘Ash
36. ‘Ayyasy : شاَّيَع : yang panjang umur, penjual roti
36. ‘Ibad : داَبِع : jamak dari kata ‘abd ; hamba
37. ‘Irfan : ناَفْرِع : kebaikan
38. ‘Izzat : تَّزِع : keagungan, kebanggaan, ‘izzah
39. ‘Isham : ماَصِع : berpegang teguh
40. ‘Ishmat : تَمْصِع : penjagaan, pegangan
41. ‘Ikrimah : ةَمِرْكِع : nama seorang shahabat, ‘Ikrimah bin Abu Jahal
42. ‘Imad : داَمِع : pondasi, tiang
43. ‘Imarah : ةَراَمِع : Penta’miran, peramaian
44. ‘Iwadh : ضَوِع : pengganti
45. ‘Ied : دْيِع : Hari besar, perayaan
46. ‘Ubadah : ةَداَبُع : nama seorang shahabat, banyak melakukan ‘ibadah.
47. ‘Ubaid : دْيَبُع : diminutif/tashghir dari kata ‘Abd; hamba
48. ‘Utbah : ةَبْتُع : lekuk liku lembah
49. ‘Utsaimin : نْيِمْيَثُع : nama seorang ulama besar Arab Saudi, Ibnu ‘Utsaimin; diminutif dari “Utsman”.
50. ‘Urbun : نْوُبْرُع : pemberian
51. ‘Ukasyah : ةَشاَكُع : nama seorang shahabat
52. ‘Ulwan : ناَوْلُع : judul, tema, tanda

AL-GHAIN (نيغلا)
1. Ghâbir : رِباَغ : orang yang asing; anak jalan
2. Ghâzy : يِزاَغ : orang yang berperang
3. Ghâlib : بِلاَغ : orang yang menang; yang banyak
4. Ghâly : يِلاَغ : bersifat mahal; berharga
5. Ghâmid : دِماَغ : orang yang memasukkan pedang ke sarungnya; nama kabilah di Hijaz
6. Ghâmidy : يِدِماَغ : orang yang kabilahnya Ghâmid (dinisbatkan kepadanya)
7. Ghâssal : لاَّسَغ : pencuci, pembasuh
8. Ghassân : ناَّسَغ : air wadi di padang pasir
9. Ghannâm : ماَّنَغ : orang yang mendapatkan harta rampasan; orang yang menggunakan kesempatan; pengembala kambing
10. Ghandûr : رْوُدْنَغ : pemuda yang tampan
11. Ghayyâts : ثاَّيَغ : hujan yang banyak
12. Ghayûr : رْوُيَغ : orang memiliki ghirah (kecemburuan) yang tinggi (terhadap agama, khususnya)
13. Ghulâm : مَلاُغ : anak laki-laki

AL-FÂ’ (ءافلا)
1. Fajr : رْجَف : Fajar, shubuh
2. Fakhry : ّيِرْخَف : kebanggaaku; yang bersifat kebanggaan
3. Farras : ساَّرَف : Cerdas dan tajam pemikirannya
4. Farhan :ناَحْرَف : Gembira; suka cita
5. Farid :دْيِرَف : Tidak ada bandingannya; sendirian
6. Fashih : حْيِصَف : Orang yang fasih dan lancar berbicara
7. Fadhal :لْضَف : Kebaikan; tambahan; lebihan sisa
8. Fathin :نْيِطَف : Cerdik
9. Faqih : هْيِقَف : Ahli Fiqih; orang yang sangat paham
10. Falah :حَلاَف : Keberuntungan; kemenangan
11. Fannan : ناَّنَف : orang yang ahli seni; memiliki seni/bakat
12. Fawwaz : زاَّوَف : orang yang mendapatkan keberuntungan/kemenangan yang banyak
13. Fauzan : ناَزْوَف : keberuntungan; kemenangan.
14. Fahd :دْهَف : Macan kumbang/tutul
15. Fahmy : ّيِمْهَف : Bersifat pemahaman
16. Fayyadh : ضاَّيَف : Banyak air; orang yang mulia; kinayah bagi orang yang suka berderma
17. Fairuz : زْوُرْيَف : Nama batu permata; nama seorang ulama (Fairuz Abady)
18. Faishal : لَصْيَف : Pemimpin; Hakim; Yang memisahkan antara yang haq dan yang bathil; pedang yang tajam.
19. Firazdaq :قَدْزَرِف : Serpihan-serpihan roti
20. Fikry : ّيِرْكِف : Yang bersifat pemikiran
21. Fu`ad :داَؤُف : Hati;akal
22. Fudlail : لْيَضُف : tashghir (diminutif) dari kata ‘Fadll’; nama seorang ulama terkenal ‘Fudlail bin ‘Iyadl’
23. Faiz : زِئاَف : Pemenang; orang yang beruntung; orang yang sukses
24. Fa`iq :قِئاَف : Baik;istimewa;lebih menonjol dari yang lain
25. Fatih :حِتاَف : Penakluk; pemimpin; pembuka
26. Fakhir :رِخاَف : Orang yang bangga; mewah; terhormat
27. Fady :يِداَف : Tawanan yang ditebus.
28. Faruq : قْوُراَف : Orang yang memisahkan antara haq dan batil; julukan bagi Umar bin Khaththab.
29. Faris :سِراَف : Penunggang kuda; pemilik kuda;singa; pandai.
30. Fari` :عِراَف : Tinggi menjulang; seperti gunung; perawakan tinggi
31. Fadhil :لِضاَف : Orang yang berbudi; yang utama; yang layak dihargai
32. Falih :حِلاَف : Lurus; cocok
33. Fahim : مِهاَف : Orang yang paham, mengerti
34. Fayi` : َفعِيا : Harum baunya

AL-QÂF (فاقلا)
1. Qahthan : ناَطْحَق : Nenek moyang bangsa Arab dibagian selatan, nama suku
2. Qarib : بْيِرَق : teman dekat; yang dekat; sebentar lagi
3. Qais : سْيَق : Kadar, ukuran; nama suku yang datang untuk belajar Islam kepada Rasulullah (‘Abdul Qais) dan nama salah seorang shahabat (Qais bin Sa’d)
4. Qindil : لْيِدْنِق : Lampu minyak
5. Qudamah : ةَماَدُق : Lama; dahulu; nama seorang ulama fiqih terkenal (Ibnu Qudamah)
6. Quraisy : شْيَرُق : Nama kabilah Arab terkemuka
7. Qurthuby : ّيِبُطْرُق : nama seorang ulama ahli tafsir; dinisbatkan kepada ‘Qurthub’ salah sebuah nama daerah di Andalus (Spanyol sekarang) yang dikenal dengan nama aslinya ‘Cordova’
8. Quzwainy : يِنْيَوْزُق : dinisbatkan kepada ‘Quzwain’ salah sebuah kota di Asia Tengah; dinisbatkan kepada salah seorang ulama hadits (Ibnu Majah al-Quzwainy)
9. Qushay : ّيَصُق : Jauh pemikirannya; nama nenek moyang Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam
10. Quthb : بْطُق : kutub; pemimpin; tetua kaum; akhir segala sesuatu
11. Qa’id : دِئاَق : Komandan perang; ketua
12. Qabus : سْوُباَق : Orang yang gagah; tampan dan baik kulitnya
13. Qasim : مِساَق : Orang yang membagi; pemberi imbalan
14. Qashid : دِصاَق : Yang menuju kepada sesuatu; yang bermaksud untuk…

AL-KÂF (فاكلا )
Katsir : رْيِثَآ : Yang banyak
Karim : مْيِرَآ : Yang murah hati; dermawan; salah satu nama Allah
Kassab : باَّسَآ : yang banyak bekerja/ulet
Ka`b : بْعَآ : Kehormatan; kemuliaan; ruas; tombak.
Kamal : لاَمَآ : Kesempurnaan
Kanz : زْنَآ : Harta simpanan; harta terpendam.
Kan`an : ناَعْنَآ : Yang mengumpulkan; nama kaum yang menisbatkan kepada Kan`an bin Nuh
Kinan : ناَّنَآ : Harta simpanan; harta terpendam
Katib : بِتاَآ : Penulis
Kasib : بِساَآ : Orang yang rajin cari penghidupan
Kazhim : مِظاَآ : Orang yang dapat mengekang amarah
Kamil : لِماَآ : Yang memiliki sifat-sifat baik lagi sempurna

AL-LÂM (ملالا )
1. Labib : ْيِبَلب : Orang yang berakal; cerdik
2. Lathif : فْيِطَل :Lemah-lembut; kasih sayang; salah satu asma Allah.
3. Lu`ay : ّىَؤُل : Kekuatan; nama nenek moyang Quraisy.
4. Luthf : فْطُل : Kelemah lembutan; taufiq
5. Luthfy : ُليِفْط : dinisbatkan kepada Luthf; yang bersifat lemah lembut
6. Luqaman : ناَمْقُل : Jalan terang; nama nabi terkenal kebijakannya.
7. Labid : دِبَلا : Singa

AL-MÎM ( ميملا )
1. Ma`mun : نْوُمْأَم : Orang yang dipercaya; nama salah seorang khalifah pada masa khilafah ‘Abbasiyyah
2. Mabkhut : تْوُخْبَم : Yang mempunyai keberuntungan
3. Mabruk : كْوُرْبَم : Orang yang diberkahi
4. Mahbub : بْوُبْحَم : Yang dicintai dan disenangi manusia
5. Mahjub : بْوُجْحَم : Yang tersembunyi; yang tertutup
6. Mahrus : سْوُرْحَم : Yang terjaga; orang yang berumur panjang
7. Mahfuzh : ظْوُفْحَم : Terjaga; terpelihara
8. Mahmud : دْوُمْحَم : Perikehidupannya terpuji
9. Makhzum : مْوُزْخَم : Teratur; tersusun; nama nenek moyang Quraisy
10. Makhluf : فْوُلْخَم : Orang diikuti
11. Marjan : ناَجْرَم : Butir-butir mutiara; tumpukan-tumpukan batu merah dilaut
12. Marzuq : قْوُزْرَم : Yang memperoleh rizki; bernasab baik
13. Marwan : ناَوْرَم : Batu yang keras; nama khalifah Umariyyah
14. Mas`ud : دْوُعْسَم : Orang yang diberi kebahagiaan oleh Allah; yang beruntung
15. Masyhur : رْوُهْشَم : Terkenal diantara manusia
16. Mathar : رَطَم : Hujan
17. Ma`ruf : فْوُرْعَم : Yang terkenal; kebaikan; rizki
18. Ma`in : نْيِعَم : Air yang mengalir
19. Maqbul : َملْوُبْق : Diterima
20. Maqshud : دْوُصْقَم : Orang yang selalu dikehendaki orang lain
21. Makky : ىِّكَم : Orang yang menisbatkan dirinya kepada kota Makkah
22. Malih : حْيِلَم : Yang bermuka manis
23. Mamduh : حْوُدْمَم : Orang terpuji
24. Manna` : عاَّنَم : Kuat; perkasa
25. Mauhub : بْوُهْوَم : Yang dianugrahi
26. Mahdy : ّيِدْهَم : Yang mendapat hidayah
27. Mahib : بْيِهَم : Orang yang karismatik; ditakuti atau disegani oleh orang lain
28. Maimun : نْوُمْيَم : Yang mendapatkan berkah
29. Misy`al : لَعْشِم : Sesuatu yang dinyalakan sebagai penerang; bejana tempat api
30. Mifdlal : لاَضْفِم : orang yang diutamakan, memiliki kelebihan
31. Miqdad : داَدْقِم : Orang yang sering menghadang perbuatan buruk
32. Miqdam : ماَدْقِم : orang yang berani
33. Mukmin : نِمْؤُم : Orang yang beriman; yang memeberi keamanan; salah satu asma Allah.
34. Mu`ayyad : دَّيَؤُم : Yang dikuatkan
35. Mubarak : كَراَبُم : Diberkahi; bermanfaat.
36. Mubasysyir : رِّشَبُم : Yang memberi khabar gembira
37. Mutawakkil : لِّآَوَتُم : Yang mewakili; tunduk dan tawakkal kepada Allah.
38. Mutawally : ىِّلَوَتُم : Penanggung
39. Mujahid : دِهاَجُم : Pejuang; prajurid; orang yang berperang fisabilillah
40. Mujaddid : دِّدَجُم : Pembaharu
41. Muhtasib : بِسَتْحُم : Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar; orang yang mengharap ridla Allah
42. Muhsin : نِسْحُم : Orang yang berbuat baik dan tulus
43. Mukhtar : راَتْخُم : Orang Pilihan
44. Murad : داَرُم : Kehendak; maksud; nama sultan pada masa khilafah ‘Utsmaniyyah
45. Murtadla : ىَضَتْرُم : Orang yang diridhai Allah dan diridhai manusia
46. Mursyid : دِشْرُم : Pemberi pentunjuk dan peringatan
47. Muslim : مِلْسُم : Orang Islam; yang berserah diri
48. Musyary : ىِراَشُم : Pemetik madu lebah; kaya
49. Musthafa : ىَفَطْصُم : Pilihan; julukan untuk Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
50. Mush`ab : بَعْصُم : Unta yang sukar dinaiki; kuda jantan
51. Muslih : حِلْصُم : Orang yang melakukan kebaikan dan perbaikan- (kabaikan dari perusak)
52. Muthlaq : قَلْطُم : Tidak terikat
53. Muzhaffar : رَّفَظُم : Yang dapat memenuhi kebutuhannya
54. Mu`adz : ذاَعُم : Orang yang terlindungi; nama sahabat (Mu`adz bin jabal)
55. Mu`taz : ّزَتْعُم : Orang yang membanggakan diri
56. Mu`tashim : مِصَتْعُم : Orang yang menjaga diri dari perbuatan maksiat; yang meminta perlindungan kepada Allah
57. Mughits : ثْيِغُم : Penolong
58. Muflih : حِلْفُم : Orang yang beruntung; yang sukses
59. Mufid : دْيِفُم : Orang yang memberi manfaat kepada orang lain
60. Mumtaz : زاَتْمُم : Istimewa; lebih menonjol dari yang lain
61. Munadlil : لِضاَنُم : Pandai melontarkan anak panah; pejuang
62. Munjid : دِجْنُم : Penolong; pembantu
63. Mundzir : رِذْنُم : Pemberi peringatan
64. Munir : رْيِنُم : Bercahaya; berseri-seri
65. Muwaffaq : قَّفَوُم : Orang yang mendapat petunjuk
66. Muhajir : رِجاَهُم : Orang yang meningalkan daerahnya ke daerah lain; orang yang meninggalkan keburukan menuju kebaikan
67. Muhadzdzib : بَّذَهُم : Orang yang memiliki akhlak terpuji
68. Muhannad : دَّنَهُم : Pedang yang terbuat dari besi India
69. Muyassar : رَّسَيُم : Orang yang dimudahkan urusannya (oleh Allah)
70. Majid : دِجاَم : Orang yang berbudi luhur; yang mulia
71. Mazin : نِزاَم : Wajah yang berseri-seri; telur semut
72. Malik : كِلاَم : Yang memiliki/menguasai sesuatu; salah satu-sifat Allah; nama imam madzhab (Imam Malik)
73. Mahir : رِهاَم : Pandai; cetakan; orang yang sungguh-sungguh dalam sesuatu

AN-NÛN ( نونلا )
1. Nabil : لْيِبَن : Terhormat; mulia; orang yang mempunyai kelebihan
2. Nabih : هْيِبَن : Terhormat.
3. Najib : بْيِجَن : Mulia; baik keturunannya
4. Nadzir : رْيِذَن : Orang yang memberi peringatan
5. Nazih : هْيِزَن : Yang menjauhi hal-hal yang tak terpuji
6. Nasib : بْيِسَن : Yang mempunyai keturunan yang baik
7. Nashshar : راَّصَن : Banyak menolong
8. Nashr : رْصَن : Pertolongan; hujan; kemenangan
9. Nashif : فْيِصَن : Orang yang adil; separoh
10. Nadhir : رْيِضَن : Bagus; indah
11. Na`im : مْيِعَن : Orang yang berbahagia; harta; ketenangan; kebahagiaan
12. Nafis : سْيِفَن : Berharga; banyak harta; yang menjadi rebutan
13. Naqib : بْيِقَن : Ketua, kepala, pemuka suatu kabilah atau lainnya
14. Nawwaf : فاَّوَن : Tinggi; unggul
15. Naufal : لَفْوَن : Pemuda tampan
16. Nibras : ساَرْبِن : Lampu; singa; pemberani; mata tombak
17. Nu’man : ناَمْعُن : Orang yang mendapatkan nikmat; nama salah seorang shahabat
18. Nabigh : غِباَن : Orang yang unggul, pintar
19. Najih : حِجاَن : Yang dianugrahi taufiq; yang berjalan dengan cepat
20. Najy : ىِجاَن : Orang yang terbebas dari keberuntungan
21. Nasik : كِساَن : Orang yang zuhud; ahli ibadah; rumput yang hijau
22. Nashih : حِصاَن : Orang yang memberi nashihat
23. Nashir : رِصاَن : Yang suka menolong orang lain
24. Nadhir : رِظاَن : Direktur; pengawas
25. Nazhim :مِظاَن : Pengarang puisi; pembaca puisi
26. Nafi` : عِفاَن : Yang memberi manfaat; salah satu asma Allah
27. Naqid : دِقاَن : Kritikus
28. Nayif : فِياَن : Tinggi

AL-WÂW ( واولا )
1. Wajih : هْيِجَو : Orang yang mengarahkan; pemimpin kaum; pioner
2. Wahid : دْيِحَو : Satu-satunya
3. Wadi` : عْيِدَو : Yang tenang
4. Wadud : دْوُدَو :Yang penuh kasih sayang; yang dicintai
5. Wazir : رْيِزَو : Menteri; Wakil
6. Wasim : مْيِسَو : Yang tampan wajahnya
7. Wadldlah : اَّضَوح : Baik raut wajahnya; putih
8. Wakil : لْيِآَو : Wakil; Pelindung/penanggung jawab
9. Walid : دْيِلَو : Bayi; anak kecil
10. Wildan : ناَدْلِو : Bentuk jamak dari walad ; anak
11. Watsiq : قِثاَو : Orang yang tentram; yang dipercaya orang lain; yang diserahi masalah dengan yang lain
12. Washil : لِصاَو : Yang berbuat baik kepada kaum kerabat; yang menyambung (sesuatu)
10. Wahib : بِهاَو : Orang yang memberi

AL-HÂ’ (ءاهلا )
1. Hammam : ماَّمَه : Orang yang mempunyai ambisi yang kuat
2. Hisyam : ماَشِه : Kemuliaan; kedermawanan.
3. Hilal : ل َلاِه : Bulan sabit; bayi yang montok; hujan yang turun pertama; ular jantan
4. Humam : ماَمُه : Pemberani; besar ambisinya.
5. Ha`il : لِئاَه : Yang menakutkan; yang luar biasa.
6. Hajid : دِجاَه : Orang bertahajud.
7. Hady : يِداَه : Yang memberi petuntuk; leher; singa.
8. Hani` : ئِناَه : Orang yang berbahagia; pembantu; menyenangkan
9. Hasyim : مِشاَه : Pemerah susu yang pintar; gunung yang indah

AL-YÂ’ ( ءايلا )
1. Yazid : دْيِزَي : Lebihan; pertumbuhan; nama salah satu khalifah Bani Umayyah
2. Yassar : راَّسَي : Orang yang mendapat kelapangan yang banyak
3. Ya`rub : بُرْعَي : Orang yang berbicara dengan bahasa Arab
4. Ya`sub : بْوُسْعَي : Pemimpin kaum; raja lebah
5. Yaqzhan : اَظْقَين : Orang yang terjaga; sadar
6. Yaman : ناَمَي : (Atau Yamany) yang menisbatkan kepada Yaman
7. Yasir : رِساَي : Orang yang mendapat kelapangan
8. Yasin : نْيِساَي : Salah satu nama Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam
9. Yafi` : عِفاَي : Tinggi; terhormat; menginjak remaja

Pada suatu ketika seseorang bertanya kepada syaikh Abdul Qadir tentang karakteristik anugerah Ilahi (Mawarid al-Ilahiyah) dan jalan setan (Mawarid syaitaniyah) maka beliau menjawab, “Anugerah Ilahiyah tidak akan datang kecuali dengan permohonan, dia tidak akan hilang oleh sebab, tidak datang dengan satu bentuk dan dalam waktu khusus. Sedangkan jalan setan biasanya berlawanan dengan karakteristik tersebut.”

Saat beliau ditanya tentang mahabbah beliau menjawab, “Mahabbah adalah bisikan di hati dari Sang Kekasih hingga seluruh isi dunia baginya bak lingkaran cincin atau sebuah kumpulan yang tidak penuh. Cinta adalah kemabukan total serta usaha untuk menggapai Sang Kekasih dengan segala cara baik terang-terangan maupun yang tersembunyi. Cinta buta dari Sang Kekasih adalah cemburu. Sedangkan kebutaan cinta terhadap Sang Kelasih adalah merupakan rasa takut kepada-Nya dan dengan demikian orang tersebut buta secara keseluruhan. Para pecinta adalah para pemabuk yang tidak pernah sadar dari kemabukannya kecuali saat mereka menyaksikan Sang Kekasih. Mereka adalah para penderita penyakit yang sakitnya hanya dapat disembuhkan dengan memperhatikan apa yang mereka minta. Mereka juga orang-orang bingung yang tidak bergaul kecuali bersama Tuannya, tidak mengucapkan sesuatu kecuali menyebutkan Dia dan tidak menjawab kecuali dipanggil oleh-Nya.

Berkenaan dengan tajrid Syaikh Abdul Qadir berkata, “Melepaskan sirr tadabbur dengan pembuktian alam dalam rangka mencari Sang Kekasih dan menelanjanginya dalam perendahan diri dengan memakaikannya pakaian ketenangan dalam pemutusdan diri dari yang ditentukan serta menarik diri dari makhluk dan menyerahkannya kepada Al-Haq.

Berkenaan dengan ma’rifat syaikh Abdul Qadir berkata, “Ma’rifah adalah ditampakkannya berbagai rahasia alam, menyaksikan Al-Haq di seluruh benda dengan pancaran ke-Esaan-Nya yang memancar dari seluruh benda dan menguasai ilmu hakikah ketika berada dalam kondisi fana (luruh) dari segala sesuatu. Sesungguhnya efek yang tersisa isyarat al-Baaqy dengan penampakan (talwih) adalah ke-Mahawibawaan Allah. Sedangkan efek dari pemancaran (talmii’) di atas, adalah ke-Agungan Ilahi yang disertai dengan penglihatan bathin”.

Berkenaan dengan himmah, “Adalah melepaskan jiwanya dari kecintaan terhadap dunia, ketergantungan dari sebab akibat dari ruhnya, melepaskan hasrat diri dan menjadikannya hanya berhasrat kepada Ilahi yang ada di dalam kalbu dan menanggalkan perhatiannya terhadap alam semesta dari sirr-nya walaupun hanya sekejap.”

Berkenaan dengan hakikat, syaikh Abdul Qadir berkata,”Hakikat adalah yang tidak dapat dihilangkan oleh lawannya dan tidak terhalangi. Bahkan semua lawannya lebur ke dalam dirinya dan semua yang menghalanginya akan hilang ketika dilewatinya”.

Berkenaan dengan derajat tertinggi dari dzikir beliau berkata, “Apabila isyarat Al-Haq akan keabadian inayah-Nya terus berbekas di dalam hati. Inilah yang disebut dengan dzikir tanpa putus, yang tidak lagi cacat karena lupa dan tidak pula redup karena alpa. Dalam level ini, fisik jiwa maupun hatilah yang berdzikir. Dzikir inilah yang oleh Al-Haq diisyaratkan sebagai dzikr al-katsiir (dzikir yang banyak) di dalam al-Qur’an. Dan sebaik-baik dzikir adalah yang menggelorakan hati, datang dari Al-Mulk Al-Jabbaar (Allah) dalam wadah rahasia-rahasia hati.

Berkenaan dengan syauq (kerinduan) Syaikh Abdul Qadir berkata, “Kerinduan terbaik berasal dari musyahadah (penyaksian) karena kerinduan jenis tersebut tidak melemah oleh perjumpaan, tidak padam oleh cerita, tidak hilang oleh ejekan, tetapi tetap berada dalam keintiman. Bahkan semakin banyak bertemu maka semakin dalam kerinduan yang dirasa. Dan kondisi kerinduan (syauq) baru diakui apabila telah berhasil menanggalkan faktor penyebabnya yaitu mengikuti ruuh atau himmah atau menjaga nafs hingga kerinduan yang ada benar-benar murni dari sebab. Dalam kondisi tersebut dia tidak lagi mencerap sebab kerinduan karena setiap saat ia menyaksikan-Nya dan menjadi semakin rindu dari satu penyaksian ke penyaksian yang lain”.

Berkenaan dengan tawakal Syaikh Abdul Qadir berkata, “Terpusatnya aktivitas sirr kepada Allah semata hingga melupakan untuk apa dia bertawakal dan juga melupakan segala sesuatu. Maka terjadi peningkatan rasa dari perasaan dekat (hisymah)menjadi lebur dalam tawakal (fana’ fii tawakal). Dan dengan memperhatikan esensi ma’rifat, maka tawakal adalah merupakan pancaran As-sirr terhadap rahasia segala sesuatu yang telah ditakdirkan. Juga meyakini hakikat keyakinan sesuai dengan makna – makna pandangan ma’rifat karena hakikat tersebut tersembunyi sehingga tidak dapat dicacati oleh ketidak-yakinan”.

Dilain kesempatan Syaikh Abdul Qadir menjelaskan tawakal sebagai berikut, “Tawakal memiliki hakikat sebagaimana yang dimiliki oleh ikhlas. Jika hakikat ikhlas adalah hilangnya himmah (hasrat untuk mendapatkan balasan) dari berbagai amal yang dilakukan, maka hakikat tawakal adalah tidak menyandarkan diri kepada daya dan kekuatan serta mempercayakan diri hanya kepada Allah.” Kemudian Sang Syaikh kembali berkata, “Saudara, berapa banyak perkataanku yang tidak engkau dengar, yang engkau dengar akan tetapi tidak engkau mengerti, yang dimengerti namun tidak diamalkan, dan engkau amalkan namun tanpa keikhlasan, serta tanpa engkau lebur dalam keikhlasan dan wujudmu”.
Ketika Sang Syaikh ditanya tentang inabah, Syaikh Abdul Qadir berkata, “berusaha mendapatkan berbagai maqam dan berhati-hati untuk tidak berhenti hanya pada derajat spiritual, kemudian terus meninggi hingga tempat tertinggi dari alam semesta dan bersandar pada niat hingga mencapai hadirat Ilahi”.

Ibunda, Kenapa Engkau Menangis ?

Ilustration Mom
Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang
bertanya kepada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya
menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti"
kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat.
"Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."
Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah,
mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab
yang jelas?" Sang ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis
tanpa ada alasan". Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.
Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap
bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.
Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan.
"Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?"
Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita,
Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya,
agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga,
bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi
yang sedang tertidur.
Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan,
dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap
berulangkali menerima cerca dari anaknya itu. Kuberikan keperkasaan,
yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua
orang sudah putus asa.Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat
keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.
Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya,
dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu
melukai perasaannya, melukai hatinya.
Perasaan ini pula yang akan memberikan
kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah
yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan
lembut olehnya. Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui
masa-masa
sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi
setiap
hati dan jantung agar tak terkoyak?
Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian
dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya.
Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang
diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling
menyayangi.
Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya.
Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia
inginkan.
Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah
air mata kehidupan". Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih
hidup, karena di kakinya-lah kita menemukan surga.

Biarkan Aku Memperingati Maulid Nabi

“Biarkan aku memperingati Maulid.” Demikian kata Sa’id
Ia menambahkan, “Mengapa engkau tidak memperingati Maulid? Apakah engkau tidak mencintai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam? Apakah engkau tidak mengakui keutamaan dan jasa-jasa beliau atas dirimu?”
Demikian sepenggal dialog yang terjadi antara Sa’id dan Shalih. Marilah kita ikuti sejak awalnya.
Shalih sedang berada di atas kereta api dari kotanya menuju ke Ibu Kota untuk melengkapi pengurusan syarat-syarat haji. Tak lama lagi kereta itu akan berangkat. Kegembiraan membayangi wajahnya. Sudah lama ia menyimpan kerinduan untuk berziarah ke tanah suci. Ia bermimpi dan membayangkan melihat ka’bah yang mulia dan berharap dapat mencium hajar aswad serta meminum dari mata air zamzam.
“Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum….” Shalih tersentak dari lamunannya dan sadar bahwa ada seseorang yang sedang menyapanya. Ternyata seorang tua yang berusia menjelang 50 tahun berdiri di sisinya dan minta izin untuk duduk di sampingnya.
“Wa ‘alaikumussalam warahmatullohi wa barokatuh.” jawab Sholih seraya melapangkan tempat duduk untuknya.
“Perkenalkan namaku Sa’id.” kata orang itu.
“Kemana engkau tadi melamun? Tiga kali aku mengucapkan salam kepadamu, tapi engkau tidak mendengarkannya.” kata Sa’id.
Dengan penuh rasa malu, Shalih menjawab, “Maaf, aku tadi berkhayal sedang berada di sisi ka’bah. Aku memang berniat untuk menunaikan haji tahun ini.”
“Masya Alloh engkau niat menunaikan haji? Semoga Alloh memudahkan urusanmu. Dan jangan lupa mendo’akanku di tempat-tempat yang mulia. Memang, setiap muslim pasti merasa rindu untuk berziarah ke tanah suci meskipun ia sudah pernah haji. Alhamdulillah, aku sudah berhaji tiga kali, umrah empat kali dan menziarahi Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dua kali.” kata Sa’’id.
“Tidak, aku memang berniat menziarahi makam Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam di Madinah. Aku masih ingat, ketika itu bulan Rabi’ul Awwal. Perjalananku ke makam penuh dengan nuansa kerinduan yang meluap-luap kepada beliau. Sesampainya di makam, aku membaca maulid Nabi. Sungguh ketika itu aku merasakan bahwa ruh beliau yang suci menyertai kami.” jawab Sa’id.
Shalih berkata, “Akan tetapi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘”Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk berziarah) kecuali pada tiga masjid: Masjid Haram, Masjidku ini dan Masjid Al Aqsha.” ini berarti Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam juga melarang umatnya bepergian jauh untuk tujuan ziarah kecuali ke tiga masjid tersebut. Kemudian, maulid yang tadi engkau sebutkan, hal itu tidak sesuai dengan sunnah.”
Sa’id membantah, “Bid’ah maksudmu?! Menampakkan kecintaan kami kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah?! Bukankah bergembira dengan hari kelahiran beliau termasuk bersyukur kepada Alloh atas nikmat-Nya yang terbesar bagi umat manusia?! Bukankah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam ketika datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuraa’, lalu beliau bersabda, “Hari apa ini sehingga kalian berpuasa kepadanya?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari diselamatkannya Musa dan kaumnya serta ditenggelamkannya Fir’aun dan kaumnya. Lalu Musa berpuasa pada hari ini sebagai syukurnya kepada Alloh, lalu kamipun berpuasa pada hari ini.” Beliau bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.” Maka beliau pun berpuasa dan menyuruh sahabatnya berpuasa. Bukanlah kelahiran Nabi kita ini suatu nikmat yang lebih besar daripada diselamatkannya Musa beserta kaumnya?! Oleh karena itu, perayaan Maulid tersebut sebagai ungkapan syukur atas anugerah Alloh yang sangat besar itu.”

Pembicaraan mereka terputus sejenak karena kereta api akan diberangkatkan dan suara peluit sudah terdengar.
Shalih berkata, “Tentu saja diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah suatu nikmat yang besar dan rahmat bagi alam semesta.”
Sa’id berkata, “Tidak hanya diutusnya beliau, tetapi kelahiran beliau pun juga suatu nikmat. Dan aku bermaksud dengan merayakan maulid tersebut untuk mensyukuri Alloh atas nikmat-Nya yang agung itu. Dan apa yang aku lakukan itu sebenarnya sesuatu yang sangat sederhana dibandingkan dengan jasa-jasa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam yang sangat besar.”
Shalih menjawab, “Tentu saja setiap nikmat wajib disyukuri. Akan tetapi, nikmat yang terbesar untuk umat ini adalah diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan kelahiranya. Karena Al Qur’an tidak pernah menyinggung atau memberikan perhatian terhadap kelahiran beliau. Al Qur’an justru mengisyaratkan berulang kali bahwa nikmat Alloh dan anugerah-Nya yang besar adalah ketika diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Alloh berfirman:
Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri[QS. Ali Imran: 164]
Dan Alloh juga berfirman:
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rosul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunah).” [QS. Al Jumu’ah: 2]
Demikian pula dengan nabi-nabi yang lain, peristiwa terpentingnya adalah ketika diutusnya para nabi tersebut. Seperti firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Alloh mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan” [QS. Al Baqarah: 213]
Seandainya memperingati hari besar tersebut boleh, tentu yang lebih pas adalah merayakan hari diutusnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan hari kelahiran (maulid)-nya. Adapun tentang puasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam pada hari ‘Asyura maka itu adalah syari’at dari Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, beliau hanya menyampaikan dari Robb-nya. Tidak boleh bagi kita untuk mengqiyaskan hari tersebut dengan hari kelahiran beliau. Karena kita hanya mengikuti tidak mendatangkan sesuatu yang baru.”
“Bid’ah dan tidak boleh?! Khurafat apaan ini? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa kegembiraan kita dengan habibina Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah dan tidak boleh?! Biarkan aku merayakan maulid Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam.” tukas Sa’id.
“Aku tidak mengatakan itu. Bahkan mencintai beliau adalah wajib dan harus didahulukan daripada mencintai orang tua, anak dan diri sendiri. Tetapi bukti mencintai beliau adalah dengan mengikutinya bukan dengan mengadakan maulid. Lihatlah para sahabat beliau, bukankah mereka adalah kaum yang lebih baik daripada kita dan lebih mencintai beliau daripada kita?” Tanya Shalih.
“Itu benar, para sahabat dan tabi’in tidak pernah memperingati maulid beliau. Hal ini karena jarak mereka masih dekat dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga mereka tidak butuh merayakannya. Itulah sebabnya.” Tutur Sa’id.
“Wahai saudaraku, jauhnya jarak antara kita dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menjadi alasan bolehnya mengadakan suatu tambahan dalam agama Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ini. Jika selama rentang waktu tiga kurun yang paling utama yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’uttabi’in mereka semua tidak pernah merayakan maulid padahal mereka adalah kaum yang paling mencintai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam lebih daripada generasi-generasi yang datang setelah mereka, maka kenapa kita tidak meniti jalan mereka?” tutur Shalih.
“Aku punya dalil lain. Ibnu Jazri berkata, “Ada seorang yang pernah bermimpi melihat Abu Lahab, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Ia menjawab, ‘Aku di neraka, akan tetapi setiap malam Senin siksaku diringankan karena aku pernah bergembira pada saat kelahiran Rosul lalu aku membebaskan budak wanitaku, Tsuwaibah.’ Lihatlah, jika orang yang kafir saja mendapat manfaat dengan kegembiraannya terhadap kelahiran Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, maka bagaimana dengan seorang Muslim yang bergembira serta merayakan maulid beliau pada setiap tahun?!” tegas Sa’id.
Shalih menjawab, “Wahai saudaraku, dalil tersebut mengandung kelemahan. Pertama, orang yang bermimpi tersebut majhul (tidak diketahui orangnya). Kedua, yang memberi informasi tersebut adalah orang kafir (Abu Lahab). Bagaimana berita seorang kafir dapat dipercaya? Ketiga, sejak kapan sebuah mimpi bisa menjadi dalil untuk menetapkan suatu hukum syari’at?!”
“Wahai saudaraku, apakah engkau tidak menganggap maulid sebagai sunnah hasanah (sunnah yang baik)? Bukankah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu sunnah yang baik, maka baginya pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mencontohkan dalam Islam sunnah yang buruk, maka baginya dosa perbuatan itu dan dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat?” tanya Sa’id.
Shalih menjawab, “Sunnah hasanah (sunnah yang baik) adalah sesuatu yang ada asalnya dalam syari’at. Misalnya sedekah (ia merupakan sebab diriwayatkannya hadits di atas). Diriwayatkan bahwa suatu kaum datang kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dalam keadaan miskin dan sangat kekurangan. Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam menganjurkan para sahabatnya untuk bersedekah kepada mereka. Kemudian datanglah seorang laki-laki dengan membawa sekantong besar uang dirham (perak) yang sampai-sampai tangannya tak mampu lagi membawanya. Lalu orang-orang pada berlomba-lomba bersedekah kepada mereka karena meneladani laki-laki tersebut. Maka ketika itulah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda sebagaimana hadits di atas. Adapun merayakan maulid (hari kelahiran nabi) adalah suatu perbuatan baru yang tidak ada asalnya dalam syari’at. Ia diadakan jauh setelah berlalunya tiga kurun yang utama, yakni sahabat, tabi’in dan tabi’uttabi’in. Oleh karena itu, ia termasuk bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:

“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.”

Sa’id berkata, “Perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, “Setiap bid’ah itu sesat.” tidaklah menunjukkan bahwa setiap bentuk bid’ah itu sesat. Karena kata kullu tidaklah mencakup semuanya. Bahkan diantara ulama ada yang membagi bid’ah itu menjadi dua:
Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) dan Bid’ah Sayyiah (bid’ah yang buruk). Di antara para ulama ada juga yang mengatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi lima: bid’ah wajib, bid’ah yang mustahabbah (dianjurkan), bid’ah yang mubah (dibolehkan), bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Shalih berkata, “Sesungguhnya hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tadi secara lahirnya menunjukkan bahwa semua bentuk bid’ah dalam agama itu sesat, tanpa terkecuali. Karena lafadz kullu memberi pengertian mencakup semuanya (istighroq). Yakni mencakup semua jenis-jenisnya. Terlebih lagi bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam mendahului ucapan tersebut dengan adaatut tahdzir (bentuk kata yang mengandung makna larangan):
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama).”
Maka apakah mungkin setelah ini semua, beliau Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bermaksud bahwa sebagian bid’ah saja yang sesat?
Adapun perkataan sebagian ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, atau yang membagi bid’ah menjadi lima, maka perkataan mereka itu bertentangan dengan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Lalu apakah kita akan mengambil perkataan mereka dan meninggalkan perkataan Rosululloh? Aku yakin, tidak mungkin ada seorang Muslim yang mendahulukan perkataan manusia –siapapun dia- di atas perkataan al-Musththafa yang ma’shum.” jelas Shalih.
“Saudaraku, coba lihatlah kebun-kebun yang hijau nan indah di luar itu dan marilah kita sudahi diskusi kita.” ujar Sa’id yang berusaha mengalihkan tema pembicaraan.
Shalih tersenyum…. dan kemudian mengeluarkan secarik kertas dari tasnya lalu menulis sesuatu. Ia tampak serius namun santai. Sebelum turun dari kereta api, ia menyerahkan secarik kertas tersebut kepada Sa’id. Sa’id menerimanya dengan senang hati.
Setelah Shalih turun, Sa’id membuka amplop tersebut dan mulai membacanya. Surat itu berbunyi:

Untuk saudaraku yang tercinta, Sa’id.
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Aku sangat berterima kasih dan kagum dengan kebaikan akhlakmu. Perkenankanlah aku menanyakan kepadamu beberapa hal –semoga Alloh melapangkan dadamu untuk menerima kebenaran- :
  1. Kenapa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah merayakan peringatan Maulid sepanjang hidupnya?
  2. Kenapa para sahabat beliau tidak pernah mengadakan peringatan maulid, demikian pula dengan para ulama yang datang setelah mereka? Apakah kita lebih mencintai Nabi daripada mereka?
  3. Jika engkau tidak merayakan maulid, apakah itu berarti kecintaanmu kepada Rosululloh tidak benar?
  4. Apakah engkau yakin bahwa Rosululloh senang jika umatnya menabuh rebana pada hari kelahiran beliau?
  5. Akhirnya engkau tidak tahu bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam wafat pada bulan yang sama dengan bulan kelahirannya? Jika engkau tahu itu, tentu bersedih pada bulan itu lebih tepat daripada bergembira. Akan tetapi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintahkan kita untuk bergembira, tidak juga untuk bersedih. Maka kenapa kita tidak mengikuti beliau?
Akhirnya jika kelak engkau berdiri di hadapan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala pada hari kiamat, lalu Alloh bertanya kepadamu, “Kenapa engkau mengada-adakan peringatan maulid?” Lalu apa jawabmu? Apakah engkau akan menjawab, “Ya Alloh, aku dapati jama’ahku dan juga kaumku, mereka semua merayakan maulid, lalu akupun ikut merayakannya.” Atau apakah engkau menjawab, “Ya Alloh, aku lihat Syaikh Fulan dan Syaikh Fulan melakukannya, lalu akupun ikut melakukannya” Sementara engkau tidak punya dalil atau hujjah?
Padahal Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang 
tidak diizinkan Alloh?” [QS. Asy Syura: 21]
Tetapi sebaliknya, jika engkau tidak merayakan maulid, lalu Alloh menanyaimu pada hari kiamat, “Wahai hamba-Ku, kenapa engkau tidak merayakan maulid Nabi-Ku Muhammad?”
Maka dengan mudah engkau bisa menjawab, “Ya Alloh, Nabi dan Rosul-Mu tidak pernah memerintahkan kami untuk mengadakan peringatan maulid, tidak juga mencontohkannya. Demikian pula dengan sahabat Rosul-Mu, tidak ada satupun diantara mereka yang merayakannya. Maka aku tinggalkan peringatan maulid karena mengikuti Rosul-Mu yang mulia dan para sahabatnya yang setia.”
Saudaraku pikirkanlah! Mana di antara dua jawaban tersebut yang lebih kuat argumennya?
Semoga Alloh mengampunimu. Demi Alloh, aku kasihan kepadamu. Ini adalah nasihatku yang kutulis untukmu. Maka bertakwalah kepada Alloh dan siapkanlah jawaban untuk pertanyaan-Nya.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Sa’id membaca surat sahabatnya tersebut dengan cermat dan hati-hati. Kemudian ia merenungkan kembali isinya dengan kepala dingin. Ia dapati dirinya seolah-olah linglung tak berdaya. Ya, dengan apa ia akan menjawab pertanyaan Robb-nya jika kelak Dia menanyainya tentang perayaan maulid?
Ia telah terbiasa memperingati maulid sejak masa kecilnya. Akan tetapi, tentu saja itu bukan dalil untuk membenarkan perbuatan tersebut. “Akan tetapi,…aku bermaksud menampakkan kecintaanku kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dengan merayakan maulid itu.” gumam Sa’id.
“Namun kenapa Rosululloh Shollallohu ‘Alaih Wa Sallam tidak menganjurkan kita untuk merayakan maulid jika memang beliau suka maulidnya dirayakan? Dan juga, kenapa para sahabat beliau tidak merayakannya setelah beliau meninggal? Bukankah mereka lebih mencintai Rosululloh daripada kita?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut bergelut di benak Sa’id. Mengusik pikirannya dan membuat risau hatinya. Ia merasa seolah-olah bumi disekitarnya berputar. Ia duduk termenung di kursinya. Lama sekali….setelah itu setitik kecerahan mulai muncul pada wajahnya. Dadanya yang tadi terasa sempit kini sedikit lapang.
“Alangkah baiknya seandainya aku tidak melakukan suatu ritual keagamaan pun kecuali jika ada dalilnya yang jelas. Sehingga aku tidak ragu-ragu dalam melakukannya. Dan juga, jika kelak Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menanyaiku pada hari kiamat, maka aku akan dapat menjawabnya dengan mantap.” gumam Sa’id.
(Ditulis oleh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi dalam booklet “Da’nii Ahtafil bil Maulid”)

Dalam surat al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khidzir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya. Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika Sang Raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian. 

Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya…..

Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:

“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS al-
Kahfi:10)

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah
datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah:
“Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan
sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada
anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa
Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi.
Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil
dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?”
Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami
tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu?
Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada
bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima
jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang
dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan
oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia
sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara?
Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan
oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi
Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak
diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya
berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa
Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta
Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya
Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul
Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan
lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan
Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat
duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan
besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban
itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian
inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari
ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum
menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada
kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai
dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan
beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu
langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua
hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak
akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu
langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu
benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin
Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang
makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan
manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi
Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah
ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukannya
dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang
lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara
makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa.
Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa
(yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta
penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib:
“Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan
keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin
kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati
selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang
mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua.
Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika
engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu!
Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayahayah
mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung
serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu
ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara
Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa
kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga
dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese).
Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang
terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang
raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia
datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil
menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah
sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi
dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang
sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan
lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat
dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari
emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur
serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah
baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi
serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan
lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari
emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80
buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi
lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari
kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang
memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga
mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya
memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari
sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah.
Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan,
untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil
suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan
yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu
benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masingmasing
bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu
yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius.
Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan
para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya
membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak
penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung.
Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu
terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya
dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis
dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang
pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di
dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni
yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu
memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,
sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun.
Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala,
sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri
sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang
taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi
barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan
segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam
masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan
dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana
mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi
tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya,
dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan
bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari
kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang
pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha–
memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di
dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya,
tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua
bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah
seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima
kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan
dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya
bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang
membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku lalu
bertanya pada diriku sendiri: ’siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang
senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang
menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?
Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian
kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di
cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah,
tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri:
‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang
memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang
membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi
sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada
di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita
semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal
selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit
dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya
berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong
baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:
“Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya.
Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah
akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai
kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu
mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat
wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan
diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami
tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka.
Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti
yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak
mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali
lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri
lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna
anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman
dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masingmasing
saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya
akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu
dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai
orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan
selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh,
dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak
mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil
berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid,
atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh
pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan
dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk
berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga
ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka.
Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk
membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari
supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan,
dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah
kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam
orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit,
kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu
sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam
orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri
mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera
datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata
kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau
benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang
ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa
mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan
baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya:
“Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering
kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t.
membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita
ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan
makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai
membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk
mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan
ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang
jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui
jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat
bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah
Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu
berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan
mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak
orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah
dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang
roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali!
Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu
uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi
Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa
nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah
tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha:
“Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun!
Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari
yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian
meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun
masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah
menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu
sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak
memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini
seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang
membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan
supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang
seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku
adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun
yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata:
“Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi,
apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh
Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu.
Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah
rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia.
Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir
menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada
orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini
adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya:
“Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki
Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara
orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya
dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan
bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan
mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan
menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di
rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja
Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi
tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam
gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama
Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama
pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam
Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua,
Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku
khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya
senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh
karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat
Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuatkuat.
Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah
menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa
lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius
sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan
penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang
datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan
kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan
kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang
kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut
mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa
bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua,
berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak
dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang
bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang
bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua,
sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk
agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan
memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya
bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan
terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:

"Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji
Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka
berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas
mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.”
Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas
mereka sebuah masjid.”

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua.
Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai
Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak
bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang
tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak
mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai
orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau
orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab
Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah,
tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan
banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah
s.a.w.